Mohon tunggu...
Lanang Irawan
Lanang Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Senang membaca dan berbagi tulisan.

Kedipan nyalakan bara, lelapnya pulaskan renjana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Emak Suka Daging

17 Juli 2020   18:10 Diperbarui: 17 Juli 2020   18:07 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak berusia sepuluh tahun termangu, berulang kali ia merogoh saku. Nihil. Mungkin ia berharap uang keluar begitu saja dari sana, seperti liur yang kerap ada dalam mulut mungilnya. Delapan belas ribu, itulah nominal yang harus dimiliki sekarang.

"Kata Emak, puasa bentar lagi. Aku pengen itu." Mata kecilnya mengawang-awang. Membayangkan betapa nikmat sesuatu yang tengah ia citakan, ludah pun berulang kali ia telan.

Tidak lama berdiam. Kaki berhias totol-totol bekas borok itu terayun, menyeret badan kecil yang dibalut baju kumal. Bocah lelaki itu setengah enggan meninggalkan tempat tersebut. Tempat di mana impiannya tertera di sana, dalam selembar kertas daftar harga goreng ayam.

Kota sedang lengang. Ia menyusuri jalanan sesukanya, kadang melompat-lompat dan berbicara sendiri. Raib sudah kesedihannya tadi, berganti ketawa khas bocah yang tidak bisa serius memikirkan apa-apa.

Matahari sudah muncul sempurna ketika anak berambut cepak itu sampai di ujung kota. Terengah-engah, kulitnya licin oleh keringat. Namun senyum puas terlihat.

Subuh tadi ia kabur. Bocah lelaki itu bosan terkurung layak tekukur. Apalagi bangunan tempatnya bernaung hanya triplek berkerangka, luasnya tiga kali tiga, tidak lebih lebar dan indah dari lemari di gedung sana.

Bocah sepertinya mana mau mengerti akan aturan. Ia tidak paham, jika pandemik sedang merajalela. Ia hanya dengar banyak orang sakit lalu meninggal di belahan dunia, juga di negara yang kini ditempatinya.

Jenuh itu sungguh menyiksa. Ditambah tidak ada mainan untuk melawan rasa suntuk di rumahnya, tidak ada handphone buat main game atau menonton video, tidak juga teman sebaya, karena mereka pun sama dikekang di rumah masing-masing.

Malahan bila teringat ibunya, anak lelaki ini lebih pusing lagi, pasalnya sang emak itu kerap menangis saat memeriksa karung tempat penyimpanan beras telah lepet.

Ia heran, kenapa harus menangis cuma karena tidak punya beras untuk dimasak, padahal untuk mengobati lapar masih ada barang yang layak di sekelilingnya. Hingga suatu hari ia bertanya,

"Mak suka daging?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun