Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien), (2) hidup atau jiwa (nafs); (3) keluarga atau keturunan (nasl); (4) harta atau kekayaaan (maal); dan (5) intelek atau akal (aql). Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntutan wahyu, "kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya."
Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartit. Walaupun Ghazali memandang manusia sebagai "maximizers" dan selalu ingin lebih, ia tidak melihat kecenderungan tersebut sebagai sesuatu yang harus dikutuk agama.Â
Jelaslah Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan di masa depan. Namun demikian, ia memperhatikan bahwa jika semangat "selalu ingin lebih" ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, maka hal itu pantas dikutuk. Dalam pengertian inilah ia memandang kekayaan sebagai "ujian terbesar".
Maka dari itu  kita harus mengedepankan maslahah dalam hal apapun, begitupun ketika kita melakukan kegiatan produksi harus mengetahui dan mengedapankan etika-etika dan prinsip-prinsip produksi dalam islam agar kita bisa mencapai tujuan dan menerapkan nilai-nilai yang ada dalam tutunan islam hingga kita bisa mencapai falah.