Tidak ada yang tahu apa keperluan Amir, ia selalu menjadi orang yang tidak pernah ditanya kabar dan keberadaannya. Paling-paling orang bertanya Amir di mana hanya untuk menghibur diri mereka sendiri lalu tertawa senang.
Pagi buta selepas subuh, Amir pergi seperti biasa, keluar dari pekarangan rumahnya berbelok  lalu lurus ke arah barat. Motor kebanggannya dibunyikan keras-keras, seolah agar semua orang tahu Amir sudah berangkat lagi.
"Amir sudah berangkat lagi," kata Mak Sari, membereskan piring kotor sisa sahur tadi.
"Amir pergi kemana, Mak?"
"Siapa yang tahu Amir pergi ke mana?"
"Biasanya kemana, Mak?"
"Ya gak tahu," si kecil Paili terdiam. Pikirannya masih penuh pertanyaan tapi Mak Sari tidak tahu menjawabnya.
Sehari sebelum membeli motor, Amir menangis keras untuk kesekian kalinya. Usianya sudah hampir 30 tahun, tapi Amir menangis keras di halaman persis seperti Amir kecil yang merengek minta dibelikan mainan 26 tahun silam. Â Bedanya kali ini Mar tidak bisa membelikannya begitu saja, motor mainan saja harus ia beli saat upah di tempatnya bekerja telah dibayar dua kali.
Hingga siang hari Amir tetap menangis meski kepala dusun yang menghiburnya. Tak ada jalan lain, Mar mengumpulkan semua tabungannya, membongkar celengan kayu, pergi ke rumah lurah barangkali ia berkenan pada sepetak tanah di depan rumahnya. Tapi uang yang ada belum cukup untuk membeli motor yang diinginkan Amir. Mar Kembali ke rumah lurah, memohon bantuan.
Motor Amir mengaung keras di kejauhan, suaranya membangunkan seisi kampung, seperti ingin memberi tahu cicilan sepeda motornya masih berkali-kali lipat gaji mingguan ibunya.
Minggu lalu Amir ke Surabaya diajak sopir truk. Mata Amir belingasan mencari perhatian orang-orang, tetapi mereka menertawakannya.