Mohon tunggu...
Lailatul Fatima
Lailatul Fatima Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hanya orang biasa, tetapi tetaplah jadi baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Egoku

25 April 2020   21:41 Diperbarui: 25 April 2020   21:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku semakin tidak mengerti dengan diriku. Ada apa denganku? Tanganku gemetar tak memiliki daya. Kakiku lemas sudah tak bisa menahan untuk berdiri. Kepalaku semakin pusing dan sakit. Rasanya aku setengah sadar. Aku kenapa? Ada apa? Melihat dia dengan orang lain sampai seperti ini. Astaga, air mataku jatuh. Ini benar-benar diluar kendaliku. Rasanya sesak. Sakit. Entah bagian mana. Yang jelas aku hanya ingin lari. Meninggalkan mereka berdua. Tapi, untuk jalan selangkah saja aku tak mampu. Rasanya ingin langsung jatuh. Aku benar-benar tidak bisa menduganya. Aku berharap bisa terbangun dari mimpiku. Ya, aku berharap ini hanya mimpi. Saat aku terbangun, semuanya akan baik-baik saja. Ah, aku sudah tidak bisa menahannya. Aku mencubit tanganku dengan reflek. Iya, ini sakit. Ini nyata. Ya tuhan, berikanlah kekuatan untuk pergi menjauh. Untuk beberapa langkah saja. Kupaksa kakiku yang lemah ini meninggalkan mereka berdua. Akhirnya aku berlari. Sambil menutup mulut, agar aku bisa menahan rasa sakit ini. Yang jelas air mataku sudah mengalir deras. Entahlah, rasanya sangat sesak.

"Haha. Sudah gila kamu ya?" celetuknya. Sambil melemparkan bola kertas ke arahku.

"Aduhh, sakit tau! Lihat pembalasanku, ya! Awas kau!" aku mengancamnya. Dia tertawa, sambil pura-pura lari takut kepadaku. Menyebalkan sekali. Tapi aku ikut tertawa. Seperti itulah kira-kira kejadian beberapa tahun yang lalu. Aku dan dia sudah berteman sejak lama. Kita satu berada di sekolah yang sama selama 12 tahun. Benar sekali. Dari sekolah dasar sampai menengah atas kita memiliki almamater yang sama. Awalnya, aku hanya kenal dia. Hanya sebatas nama saja. Karena kelas kita bersebelahan. Jadi, hanya sering melihatnya saat bermain sepak bola saja pada saat jam istirahat. Sejak dulu, dia memang tak punya rasa lelah. Hobinya bermain sepak bola. Rasanya sudah bosan melihatnya bermain sepak bola selama belasan tahun. Tapi, dia juga mahir melakukan olahraga yang lain di sekolah. Bulu tangkis, basket, voli, mungkin hampir semuanya. 

Aku berteman dengannya sejak duduk di bangku SMP. Kita berada di kelas yang sama selama tiga tahun. Awalnya dia yang sok kenal kepadaku. Mulai mengajakku bicara.

"Hei. Kamu Reina, yang dulu kelas A, kan? Wah, kita ketemu lagi disini ya? Haha kayaknya seru. Jadi teman yang baik ya, Rein! Jangan nakal sama aku hahaha." Saat dia mengucapkan kalimat itu, seisi kelas memperhatikanku. Darrel memang sosok yang mencuri perhatian. Kulitnya sawo matang, badan tegap dan tinggi, mata yang tajam, senyumnya manis, kata teman-temanku sih, dia tampan. Ya, memang tampan dari SD dulu. Siapa sih yang tidak kenal Darrel? Sampai teman-teman terus melontarkan pertanyaanku. "Kenapa sih, kamu kok bisa deket sama Darrel?" mungkin sudah ratusan orang yang bertanya seperti itu. Bahkan sampai SMA saat itu. Ku akui, dia memang cukup tampan. Aku juga tidak mengerti sampai sekarang, kenapa aku bisa sedekat ini dengan Darrel. Ya, sampai usiaku saat ini menginjak 23 tahun. Mengenang masa itu, rasanya sungguh manis dan pahit. Aku tidak tahu kalau ujungnya akan seperti ini. Yang pasti, aku belum bisa menerima semua kenyataan ini.

"Rein! Dicari pacarmu tuh! Darrel, masuk sini nak. Ayo, sekalian makan malam sama bunda. Rein?! Mana sih? Udah ditunggu nihh." Bunda berteriak dari ruang tamu memanggilku.

"Apaan sih, Bun? Orang nyebelin ini jadi pacarku? Haha. Sorry! Aku tolak." Aku menyaut sambil menyeringai berjalan menuju ruang tamu. Sudah pemandangan biasa Darrel ke rumahku. Keluargaku juga terbiasa akan hal itu. Seperti anak sendiri. Aku ingat waktu itu. Saat promnight SMA. Sudah biasa aku dijemput dan diantar ke rumah. Padahal rumah kita tidak searah, dan kalau dihitung-hitung jaraknya cukup jauh. 

"Sudah sampai, Ratu." Katanya sambil mematikan mesin motor.

"Pinter ngeledek, ya." Celetusku.

"haha. Kamu sih, dengaren cantik gini." Astaga dia tersenyum. Eh, tapi rasanya ada yang aneh. Aku gugup? Apa-apaan ini?

"hey, kok diem sih. Buruan sana, temenmu udah nungguin tuh." Dia membuyarkan lamuanku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun