Oleh : Fatinah
Bagian 1
Ketika turun dari bus, Daren sempat menangkap beberapa wanita setengah baya sedang cekcok perihal harga sekantong tomat. Ibu satu menyerukan harga miring, ibu yang satu lagi kukuh dengan harga yang tertera di papan.
"Cih, ada-ada saja," gumam Daren, lantas mengalihkan pandangan.
Remaja berusia 16 tahun itu menusuri jalan setapak yang becek. Kanan kirinya berjejal orang menjajakan dagangan. Dari mulai sayuran, buah-buahan, bumbu dapur, dan daging-dagingan. Bau amis menyeruak hidung. Membuat siapapun yang tak biasa lewat jalan sempit kotor ini akan pingsan di tempat atau setidaknya muntah.
Ini adalah sebuah pasar tradisional. Letaknya di pinggiran kota. Tepatnya di tepi kali dan dekat pabrik. Pasar tradisional ini kurang tertata. Tampilannya berantakan. Lapak pedagang semrawut. Â Sepanjang jalan sangat becek, kualitas udaranya pun buruk akibat terkontaminasi asap pabrik. Entah apa yang membuat pasar ini selalu ramai dan menjadi favorit para konsumen.
Seperti inilah medan yang harus dilewati Daren 3 kali dalam seminggu. Remaja itu kerja sampingan di sebuah toko parfum yang tentu saja letaknya jauh dari para penjaja bahan makanan. Upah yang ia dapatkan dari 3-4 jam menjaga toko juga lumayan, cukup untuk makan sehari-hari di kota rantau.
"Permisi, maaf. Aduh!" Â Ucap Daren kala menyenggol dan menabrak orang. "Sori Mister."
Beginilah jika ingin tiba di bagian toko yang menjual kebutuhan rumah tangga. Minimal kau harus menerobos, menyelip, mendorong, atau menginjak satu-dua sepatu orang disebabkan ramainya pasar ini, tak apa sesekali melakukan itu. Bahkan merupakan sebuah keharusan jika tak ingin badanmu terlempar atau terhimpit.
"Ren, Ren... Kau terlambat lagi," seru pria tua bertubuh besar dengan janggut putih memenuhi setiap inci dagunya.