Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abizali

2 April 2021   20:20 Diperbarui: 2 April 2021   20:51 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Abizali. Umurku enam belas tahun. Aku selalu bermimpi menjadi pedagang besar di kota. Pasti menyenangkan. Berinteraksi dengan orang-orang kaya dan mendapat keuntungan besar di sana. Lantas, aku akan pulang dengan uang banyak dan membuat kakek bangga padaku.  Ah, membayangkannya saja rasanya sudah menyenangkan sekali.

Aku tidak pernah ke kota sebelumnya. Aku sejak dulu menginginkannya. Lepas tamat sekolah dasar, aku bekerja keras di kebun kelapa sawit milik kakek, menjual hasilnya kepada orang-orang kota yang memang sudah langganan membeli kelapa sawit kami. Hasilnya dipakai untuk sehari-hariku dan kakek, dan sebagian lagi kutabung. Kelak, tabungan itu akan kugunakan untuk mewujudkan cita-citaku.

Entah aku harus senang atau tidak, tiba-tiba saja pada suatu hari di bulan Juni yang basah, impian kecil itu menghampiriku. Aku memperoleh kesempatan untuk ke kota. Tawaran itu datang dari kakek sendiri yang tiba-tiba memberiku uang dan menyuruhku berangkat ke kota selama tiga hari.

"Kau perlu belajar, memperhatikan setiap sudut-sudut kota jika memang kelak kau akan mencari penghidupan di sana. Pergilah dan belajarlah banyak hal, Abizali. Ceritakan pada kakek apa yang kau dapat selama tiga hari itu. Semoga itu menjadi pelajaran membekas nantinya saat impianmu terwujud." Begitu penjelasan kakek padaku saat memberikan sejumlah uang.

Maka aku tanpa ragu menerimanya, mengucapkan terima kasih dan memeluk kakek. Besoknya, aku berangkat dengan menumpang mobil truk pengangkut kelapa sawit yang membawa hasil panen kami.

Aku tidak pernah menyangka kehidupan di kota ternyata jauh dari yang aku bayangkan. Kota penuh dengan gedung-gedung tinggi, juga polusi. Membuatku merasa sesak bahkan saat pertama kali menghirup udaranya. Pohon-pohon jarang kelihatan. Langit juga tidak sebiru di kampung, penuh dengan asap-asap hitam bekas cerobong pabrik dan kendaraan bermotor.

Kupikir, orang-orang di kota semuanya sejahtera. Nyatanya, masih banyak gelandangan dan pengamen jalan yang sebagian besar adalah anak-anak kecil. Begitu banyak makanan  tersedia di sepanjang jalan, gerobak-gerobak penuh makanan lezat beraneka macam. Namun, masih ada saja orang-orang yang kelaparan. Aku mengamati setiap inci kehidupan kota dengan pemandangan miris bercampur kecewa.

Orang-orang di kota selalu berjalan cepat seolah dikejar oleh sesuatu. Kesibukan-kesibukan yang entah apa. Dengan ponsel canggih yang mungkin setiap orang punya, mereka bisa melakukan apa saja. Memesan makanan, berbelanja, tanpa perlu mengantri berjam-jam atau berpanas-panasan memilih barang. Sementara di sudut lain kota, orang-orang nampak mengantri menunggu perolehan sembako dari pagi hingga sore, kadang berdesak-desakan demi memperoleh bagian.

Kehidupan di kota berjalan tidak seimbang. Di sudut lain, orang-orang bermandikan uang, sementara di sudut lainnya orang-orang sibuk mengais sisa makanan. Maka aku tidak terkejut lagi ketika mendengar bahwa sebagian besar tindakan kriminal dan asusila sering terjadi di kota.

Tiga hari lebih dari cukup untuk kemudian mengubur dalam cita-citaku menjadi seorang saudagar besar di kota. Ah, alasan yang tidak etis mungkin menurut kau. Tapi beginilah aku, Kawan. Bukan berarti aku mudah menyerah, namun semua pemandangan yang kulihat itu sudah cukup untuk membuatku merasa bersyukur hidup damai di kampung meski dijerat kemiskinan dan tidak pernah bercahaya oleh lampu-lampu neon dan LED seperti yang kutemui di kota, karena pasokan listrik memang belum sampai di kampung kami.

Sudah cukup tentang impian hidup di kota. Lupakan soal menjadi pedagang besar. Bahkan walau aku tetap mengabdi sebagai seorang petani kelapa sawit bertahun-tahun kemudian, aku yakin hidupku akan baik-baik saja selama aku masih berada di kampung ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun