Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah Duka dari Papa

24 Maret 2019   21:12 Diperbarui: 24 Maret 2019   21:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: DevitaSelamat ulang tahun, kami ucapkan
Selamat panjang umur, kita kan doakan
Selamat sejahtera, sehat sentosa
Selamat panjang umur dan bahagia
"Selamat ulang tahun Dinda, mama doakan cita-cita kamu terwujud ya Sayang" mama mencium keningku
"Sudah besar sekarang anak papa harus bisa membedakan mana yang baik dan tidak ya" papa memelukku
"Hadiah!" pintaku dan di sambut lengkungan di bibir mama dan papa
***
Aku kangen hari itu mah pah, tapi sekaligus benci. Karena di hari itu wanita simpanan papa datang ke rumah meminta pertanggung jawaban atas bayi yang di kandungnya. Sempat untuk tidak percaya tapi dari bukti yang wanita itu bawa sudah bisa di pastikan kalau dia memang wanita simpanan papa. Aku kecewa kenapa tepat di hari perayaan ulang tahunku kebohongan papa terungkap.
Hari ini tepatnya di bulan Januari adalah hari ulang tahunku. Haruskah aku merayakannya atau malah tidak memedulikan itu semua. Bahkan sepertinya langit pun menyadari kegundahanku. Dengan suara petir dan derasnya rintikan hujan beserta angin kencang ini telah membuktikan bahwa aku sangat-sangat.. ah sudahlah! aku tidak mau mengingatnya.
"Hai Dinda. Sweet seventeen ya beib,"
"Basi lo"
"Lo selalu seperti itu, nikmatin kenapa sih Din. Coba lihat sekeliling lo deh semua orang bersenang-senang di hari ulang tahun lo. Tapi lo malah.." Jujur temanku dan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti bertanya sesuatu.
Aku melenggang pergi dari ruangan ini. Aku tidak memedulikan teman-temanku di pesta yang katanya 'sweet seventeen' ini. Pesta hanya untukku tapi tidak memberikan kesan terbaik untukku malah mengingatkanku pada hari termenyedihkan itu. Manis dari mana bodoh, kataku lirih.
Mamaku adalah dalang dari pesta menyedihkan ini. Mama memang tidak pernah lupa dengan Januari, seolah mencoba melupakan kejadian 10 tahun yang lalu saat papa pergi meninggalkan kami berdua dan lebih memilih tinggal bersama wanita simpanannya itu. Hei tunggu! Tante Rita---nama wanita itu---adalah wanita yang datang di hari ulang tahunku dan mengacaukan semuanya. Kini telah menjadi istri sah papa setelah mama. Orangtuaku memang tidak mengatakan 'cerai' tapi menurutku dengan cara papa pergi dari rumah dan meninggalkan aku juga mama, itu sama dengan pergi selamanya.
Mama menggelar pesta di kebun bunganya. Memang setelah kejadian itu mama lebih suka berkebun ketimbang pergi ke kantor yang padat. Mama sendiri yang mendekor semuanya seapik mungkin di setiap tahunnya, aku menghargai itu dengan cara selalu hadir di pesta ulang tahunku sendiri walaupun hanya beberapa menit kemudian pergi. Setidaknya aku masih menghargai mama karena aku menyayangi mama. Aku tahu mama lebih terluka di bandingkan denganku tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri jika aku membenci papa.
"Dinda," panggil seseorang yang aku kenal sejak lama. Dia duduk di sampingku, Reihan namanya. Dia teman kecilku, kita berteman semenjak Reihan pertama kali pindah di daerah ini. "Ini hadiah untukmu." Katanya sambil memberikan kotak berpita merah muda itu kepadaku. Aku menerimanya dengan senyum seadanya.
"Terima kasih. Tapi aku harus pergi, permisi."
"Dinda tunggu!" Cegah Reihan sambil memegang tanganku. Aku berhenti dan menghadap ke arahnya, "Ada apa?" tanyaku.
Reihan menatapku kemudian menunduk. Entah apa yang sedang di pikirkannya aku tidak peduli. Aku beranjak pergi, tapi kemudian berhenti setelah Reihan mengatakan sesuatu.
"Dinda, aku memang tidak mengetahui alasanmu untuk membenci perayaan ulang tahunmu sendiri. Tapi aku mohon kali ini saja nikmati seperti yang lainnya. Apa di hati kecilmu tidak ada rasa kasihan kepada mamamu yang sudah susah payah untuk menyiapkkan ini semua, hanya untuk dirimu."
"Aku tidak pernah meminta mama melakukan hal ini!"
"Apa?" tanya Reihan seakan tidak percaya dengan ucapanku barusan. "Kamu harusnya lebih bersyukur setidaknya tante Ratih, mamamu masih mengingat dengan jelas kapan kamu lahir. Nah aku, apa kabar dengan mamaku? Mamaku sibuk Din, berangkat subuh dan pulang ketika aku sudah terlelap. Sementara papaku hanya pulang satu tahun sekali. Coba bayangkan betapa irinya aku melihatmu yang serba berkecukupan dan mama yang tak pernah lupa dengan anaknya. Sementara anaknya seakan tak acuh, tapi mamanya masih acuh. Heh?" Jelasnya.
"Jleb banget Rei."
"Hehe, sudahlah kenapa jadi mewek begini sih? Jijik gue. Oke deh hadiah lo udah gue kasih kan. Kalau gitu gue pergi ya."
"Rei!" panggilku saat Reihan melangkah meninggalkanku yang kemudian berhenti tapi masih membelakangiku. "Terima kasih"
"Ya ya terserah. Gue mau dansa sama tante Ratih, calon mertua. Haha."
***
Aku sudah berada di kamarku dan pesta masih berlangsung mungkin. Tapi yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang adalah ketika ulang tahunku hal pertama yang aku cari itu hadiah. Walaupun aku membenci perayaannya tapi hadiah tetap nomer satu untukku karena aku menyukainya. Sekarang di atas kasurku sudah ada banyak. Sekali hadiah dari teman-temanku dan juga mama. Tapi ada satu hadiah yang berhasil mengalihkan perhatianku beberapa menit.
Aku mengambil sebuah kotak berwarna cokelat dengan pita putih sebagi hiasan. Kotak ini tidak asing menurutku aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi aku lupa. Aku membolak-balik kotak itu mencoba mengingat sesuatu kemudian melihat setiap detailnya. Dan aku menemukan sebuah tulisan tangan, yaitu maple. Yang ditulis menggunakkan spidol berwarna oren layaknya daun maple.
"Papa.." lirihku. Aku langsung melempar kado itu ke lantai dan berlari menuju kebun bunga mama untuk memastikan sesuatu.
Sesampainya di sana aku melihat betapa sesak suanah tempat ini yang di penuhi anak-anak remaja dan beberapa teman mama yang sedang berpesta. Ada juga yang berdansa di atas lantai dansa yang mengelilingi air mancur kecil di tengah kebun. Aku mencari mama, berharap menemukan sosoknya. Pikiranku sudah tak karuan sekarang, ada banyak pertanyaan yang menyelimuti hati ini tapi aku tidak memahaminya. Tak lama aku mencari, akhirnya aku menemukan mama sedang mengobrol dengan seseorang yang amat sangat aku mengenalnya. Dari cara ia berdiri, setelan yang dipakainya---celana bahan dan kaos putih polos---aku terus mendekati mereka perlahan. Tapi aku melihat ada orang lain di sana di samping mama. Dia menggandeng gadis kecil bergaun merah muda yang kira-kira berumur sekitar tujuh tahun itu.
Sampai akhirnya aku berada tak jauh dari mereka, satu langkah saja aku berada tepat di samping pria dewasa yang saat ini sedang berbicara dengan mama.
"Papa!" sejenak mereka menghentikan pembicaraannya dan menoleh ke arahku. Ya, pria dewasa tadi adalah papaku dan wanita di sampingnya adalah tante Rita, istri sah papa setelah mama. Serta anak kecil itu adalah benih cinta dari mereka berdua, cih. Jijik aku mengingatnya. "Papa ngapain ke sini, masih ingat Dinda ternyata" sergahku saat papa hendak berbicara.
"Maaf papa baru bisa datang, sayang. Akhir-akhir ini papa sibuk sekali jadi tidak sempat untuk menengok kalian."
"Barang sebentar saja pah?" potongku, "Sudahlah bilang saja jika papa sudah tidak peduli denganku dan juga mama!"
"Tidak seperti itu sayang," kata papa mencoba meraih tanganku tapi aku menolak. "Papa tidak pernah punya pikiran untuk meninggalkan kalian berdua. Hanya saja-"
"Sudahlah. Aku tahu, hanya saja papa lebih peduli pada wanita itu bukan. Aku tidak peduli papa mau apa dan bagaimana tapi aku mohon papa pergi dari sini dan ajak wanita itu. Aku tidak ingin melihat kalian berdua." Potongku lagi dan kini aku mulai terisak. Semua orangpun melihat ke arahku bahkan Reihan juga tapi ku tidak peduli.
Papa terus mencoba memelukku dan aku terus saja meronta tidak mau. Aku tidak mau di peluknya lagi, laki-laki yang telah mengkhianati mamaku dan menghancurkan semuanya. Aku benci papa.
"Papa minta maaf sayang. Papa tidak bermaksud seperti itu. Papa mohon maafkan papa Dinda, papa tahu papa salah. Papa punya alasan untuk ini. Papa bisa jelaskan sayang"
"Aku tidak peduli. Aku benci wanita itu tapi aku lebih membenci papa. Aku kecewa dengan papa karena sudah menyakiti mama."
Aku tak kuasa menahan tangis. Reihan mendekatiku, dari tatapan matanya aku tahu dia seakan mengatakan; "Dengarkan penjelasan papamu Dinda!" Tapi maaf Rei, aku tidak bisa. Akhirnya aku memilih berlari menuju kamarku lagi. Papa mencoba meraih tanganku. Aku juga tahu bahwa papa mengejarku tapi aku tidak peduli. Sampai akhirnya aku telah berdiri di depan pintu kamarku. Mendongak melihat tulisan yang tertempel di sana. "Selamat beristirahat putri kecil papa"
Aku merobek tulisan itu dan meremasnya kemudian ku lempar. Aku ingat itu adalah hadiah dari papa saat aku baru bisa menulis kala itu. Aku ingat bahwa sebenarnya itu adalah tulisanku yang di tindih tulisan papa karena tulisanku tidak bisa di baca dengan jelas. Bodoh, kataku dalam hati.
Aku membuka pintu dan masuk ke kamarku kemudian menutupnya. Aku mengambil kotak kecil berwarna cokelat itu yang tak lain adalah hadiah dari papa. Aku mengenggamnya kuat di depan dadaku sambil terisak kemudian duduk di depan pintu. Aku mendengar ketukan pintu. Dari suaranya aku bisa mendengar bahwa itu adalah papa.
"Aku bilang pergi! Aku benci papa. Aku tidak ingin melihat papa lagi."
"Dengarkan papa-"
"Aku bilang pergi pah!"
***
Sudah seminggu setelah kejadian itu berlalu. Aku mengurung diri di dalam kamar yang gelap dan hanya ada satu cahaya dari fentilasi di atas jendela kamar. Aku keluar hanya untuk sekolah dan makan setelah itu aku kembali lagi ke kamar. Aku tahu mama cemas kepadaku bahkan aku tahu Reihan selalu datang dan marah-marah di depan pintu kamarku.
Tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku tentang perkataan Reihan kala itu. Perkataan Reihan saat perayaan ulang tahunku tempo hari yang berhasil membuatku jleb seketika. Aku tahu bahwa keluarga Reihan memang sibuk apalagi papanya yang seorang masinis. Terkadang Reihan lebih dewasa daripada aku walaupun kami seumuran. Reihan juga terkadang menasihatiku tapi setelah itu dia tertawa, seperti waktu itu kerana dia tidak mau jika aku beranggapan bahwa dia sedang menasihatiku. Ya seperti itulah.
Aku mengambil hadiah dari papa yang sengaja tidak aku buka sampai sekarang di atas nakas. Membawanya di dekat jendela kamarku. Kurasa aku terlalu kejam jika menyalahkan hadiahnya juga dan aku memutuskan untuk membuka hadia tersebut. Dalam kotak kecil itu aku menemukan sepucuk surat dan kalung bertuliskan namaku. Indah sekali.
Aku membaca surat itu. Awal-awal hanya ada sambutan dari papa bahwa dia rindu kepadaku dan juga mama. Kata minta maaf darinya dan juga tante Rita, istrinya. Serta ucapan selamat ulang tahun tidak lupa dengan doanya sekalian. Tetapi di ujung surat aku menemukan fakta mengejudkan tentang papa selama ini. Sebenarnya siapa itu tante Rita yang sepuluh tahun lalu mengaku bahwa anak yang di kandungnya adalah anak papa. Kenapa papa sampai melakukan hal mengejudkan itu.
Aku menangis sampai terisak mengetahui fakta yang di sembunyikan rapih dariku selama ini. Aku melihat ada surat lagi di kotak, tapi ini bukan tulisan papa. Ini hasil pemeriksaan kesehatan papa. Betapa terkejudnya aku saat membaca tulisan bahwa selama ini papa mengidap kanker selaput otak setadium akhir. Sungguh aku tidak pernah menyangka tentang ini. Aku terlalu egois terhadap papa. Aku juga menemukan surat ke tiga.
"Dinda anak papa, papa tahu papa salah menyembunyikan penyakit papa dari kamu dan juga mama waktu itu. Sampai akhirnya tante Rita datang di saat hari ulang tahunmu dan berkata jika dia adalah simpanan papa. Tapi sayang percayalah jika dia melakukan itu hanya untuk kebaikan papa supaya mama mengetahui yang sebenarnya jika papa telah jatuh sakit. Papa tidak tega mengatakan perihal penyakit papa kala itu. Papa tidak sanggup melihat reaksi yang kalian perlihatkan."
"Dinda, tante Rita itu sebenarnya adalah dokter papa. Dia yang menangani papa selama ini. Mungkin caranya memang salah, tapi berterima kasih kepadanya karena dengan dia mengatakan itu. Papa jadi bisa jujur kepada mama walaupun tidak kepadamu karena kamu masih terlalu kecil untul memahami itu semua. Tapi percayalah sayang jika mama dan papa selalu ada untuk Dinda. Dan papa sangat menyayangimu"
"Selamat ulang tahun. Januari ini putri kecil papa sudah menjadi remaja yang amat sangat cantik. Walaupun papa tidak menemani perkembanganmu tapi tenang saja mama selalu merekam semua kegiatanmu sayang. Karena papa yang harus bolak-balik ke rumah sakit untuk check up dan beberapa pemeriksaan yang lainnya sehingga sampai tidak bisa menemani kalian berdua."
Seperti itu surat ketiga papa, aku tidak sanggup membacanya lagi. Aku keluar kamar masih sambil menangis dan memegang kalung indah dari papa untuk mencari mama. Saat ku temukan mama sedang duduk bersama Reihan di depan teve.
"Aku ingin bertemu papa, mah!"
***
Bau menyengat obat-obatan berhasil memasuki indera penciumanku. Orang-orang berlalu lalang dengan seragam hijau dan putih mereka, berbagai orang yang sakit ada disini. Aku memasuki kamar pasien, aku meliat banyak alat bantu yang terpasang di tubuh pria dewasa yang terlihat lemah itu di atas brangkar. Aku menutup mulutku tak kuasa melihat papa dengan raut wajah pucat pasih di sana.
Ya, mama dan Reihan membawaku untuk bertemu dengan papa. Bertemu dengan papa dirumah sakit. Perlahan aku mendekati papa yang di jaga oleh gadis kecil yang kutemui pada saat pesta ulang tahunku. Dan di samping anak itu ada tante Rita, dokter papa. Dia menyadari keberadaanku kemudian menghampiriku menepuk pelan pundakku. Seakan memberikan kekuatan agar aku tabah mengetahui papa yang sudak seperti ini. Sampai aku di samping papa melihatnya tersenyum ke arahku.
"Papa," ucapku lirih dan menangis tersedu-sedu. Aku memeluk papa yang setengah duduk itu. Aku terus meminta maaf dengan perkataanku dan perbuatanku sebelumnya. Aku tidak menyangka aku jahat sekali terhadap papa. Papa menepuk pelan punggungku
"Sayang tidak usah menangis. Papa hanya merasa kesakitan sedikit, apa lagi jika kamu memeluk papa terlalu erat," guraunya tapi tidak lucu untukku.
"Maafkan Dinda pah. Harusnya Dinda mendengarkan papa. Harusnya Dinda tidak seperti ini. Papa juga jahat, papa tidak bicara apapun dengan Dinda jika papa sakit."
"Maafkan papa sayang. Papa menyayangimu dan juga mama."
Kemudian kami berpelukan. Tak lama kemudian mama juga ikut memelukku, aku tidak tahu sejak kapan mama sudah ada di belakangku. Aku senang tapi juga sedih. Setidaknya karena kejadian ini aku belajar bahwa mendenggarkan penjasan itu lebih baik daripada beramsumsi sendiri tapi ternyata salah. Aku belajar untuk tidak melihat seseorang hanya dari luarnya saja. Tapi buta akan dalamnya.
Jadi teman, jangan jadikan satu kesalahan orang lain itu sebagai alasan untuk kamu membencinya. Dengarkan alasan di balik perbuatannya jika masih wajar maka maafkan tapi jika tidak itu terserah kalian. Inilah kisahku bersama papa. Jangan seperti aku ya!
Salam dari aku Dinda. Putri kecil papa yang sudah jadi remaja tapi masih menyukai hadiah.

~Tamat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun