Mohon tunggu...
Firmansyah Lafiri
Firmansyah Lafiri Mohon Tunggu... -

Sy Dou Dena Bima, alumnus SMA 1 Bima, Teknik Kimia UMI, mantan Pimpred koran mahasiswa Cakrawala UPPM UMI, kini Redaktur Ekobis Tribun Timur (Kompas Gramedia) di Makassar. Istri Dr Erny Mayasari, anak Adwa'mantika Cakrawala F, Amyrah Ikhlasani F

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eja Tompi Na Doang, Tradisi Keikhlasan, "Gila & Berotak-Kanan Makassar

12 Juli 2010   13:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:55 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

EJA Tompi na Doang. Ini istilah sehari-hari di masyarakat/suku Makassar. Arti harfiahnya kalau tak salah "Merah--setelah dibakar--baru diketahui itu udang".

Istilah ini tak jauh-jauh beda maknanya dengan istilah Sunda "kumaha mangke wae" (gimana nanti aja). Di keseharian orang Makassar, istilah ini oleh sebagian pihak menilai sama nasibnya dengan istilah Sunda itu, dianggap dan berkonotasi negatif.

Bagi yang mengucapkan dan bertindak dengan filosofi itu dinilai malas berpikir dan merencanakan, dicap sebagai orang yang asal-asalan, bodoh, dan pasrah. Dikehidupan sehari-hari pasrah dianggap tak ngotot dan tak memiliki energi perubahan.

Namun eja tompi na doang juga ditafsirkan sebagai istilah untuk mengekspresikan integritas serta kematangan. Pasalnya arti harfiah "baru bisa disebut udang kalau warnanya merah (setelah dibakar)" itu bisa dimaknai seseorang baru disebut sebagai laki-laki kalau bisa bertanggung jawab, seseorang baru bisa dipercaya kalau bisa memegang amanah, dan lain-lainnya.

Dua istilah itu (Makassar dan Sunda) bisa berarti bentuk dan tradisi kepasrahan dan keikhlasan orang-orang tua dulu.

Saya merasa semakin dibenarkan istilah itu sebagai istilah dan tradisi berenergi positif (istilah Quantum Ikhlas) dan "gila" (istilah Purdi E Chandra) serta benar (right--istilah Ippho Santosa) setelah saya membaca buku "Cara Gila jadi Pengusaha" dan buku terbaru Ippo "Right" Santosa yakni "7 Keajaiban Rejeki", "13 Wasiat Terlarang" dan "Marketing Bullshit".


Purdi bilang..untuk jadi pengusaha tak perlu banyak mikir..yang penting action. kalau sudah action nanti dah.. baru kita ketahui dan muncul masalah. Masalah ada mendorong kita untuk mengevaluasi. Evaluasi menghadirkan solusi, lalu kita aksi lagi...

Oh ya..sang proklamator sesungguhnya kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka, dalam buku legendarisnya "Madilog" Mengistilahkan rumus gila Purdi itu sebagai "Dialektika". Soal julukan proklamator sesungguhnya itu nanti kita diskusikan dalam catatan selanjutnya..sabar ya...

Sedangkan Ippo dalam marterpiece terbarunya itu mengistilahkan tindakan yang tak dikungkung oleh perencanaan dan pemikiran yang "ngejlimet" sebagai tindakan dari orang-orang yang mengedepankan "otak kanan"..right...mas Ippho..?

Bukankah orang "berotak kanan" dan "gila" cirinya emosional dan tak rasional, afektif, intuitif, mmmm...apa lagi ya..imajinatif, trus...kualitatif, holistik dan lain-lainnya dah...

Sedangkan orang berhati ikhlas tak mengedepankan pikiran tapi hati yang utama. Lakukan, yakin dan pasrah kepada putusanNya dan ikhlas menunggu dan menerima hasilnya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun