Dadap, kelurahan kecil di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, berbatasan langsung dengan Dubai mini versi tropis, yang lebih dikenal dengan PIK 2, terkenal sebagai wilayah pesisir yang identik dengan hasil laut, khususnya kerang hijau (kerang ijo). Pada sebuah Sabtu di bulan Mei, saya datang untuk meliput daerah perbatasan Dadap dengan PIK 2, tetapi dalam perjalanan menuju Kampung Dadap Baru, satu hal menangkap perhatian saya dan membuat saya terpukau. Dipanggil sebagai nelayan kerang ijo, sebuah profesi yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, tentu saja cepat membuat saya penasaran dan ingin tahu lebih lanjut.
Sebelum turun dari mobil, saya sudah mempersiapkan diri saya, "Ga usah harap mereka akan ramah dan menerima kita yang membawa kamera," ucap saya dengan tegas kepada tiga orang teman yang datang untuk liputan bersama.
Saat turun, karena kebingungan maka kami mendekati salah satu warga dan bertanya, "Permisi bu, gimana kalau mau ketemu dengan Pak RW nya ya?"
"Oh tunggu aja di pos ronda, tak panggilin," ucapnya dengan ramah. Saya pun sedikit terkejut dengan respons ramahnya.
Saya menunggu di pos ronda seperti yang diarahkan dan akhirnya berbincang dengan Pak RW. Kami yang awalnya hanya datang untuk meminta izin dan survei lokasi ternyata langsung diizinkan untuk meliput lokasi tersebut. Akan tetapi, kami datang tanpa persiapan liputan sehingga hanya dapat mengambil beberapa gambar dan mengenal wilayah ini melalui kacamata para warga.
Awalnya saya bertemu dengan seorang ibu buruh pengupas kerang ijo, kami sempat berbincang sebentar, dan beliau menceritakan sedikit kehidupan warga Kampung Dadap Baru, "Nelayannya nyelem, cari kerang. Kalo udah dianter, kita ibu-ibu yang ngupasin," jelasnya. Tepat di saat itu, saya dan teman saya saling melihat satu sama lain dan berseru, "mirip haenyeo!" Sebutan bagi penyelam perempuan dari pesisir Korea, khususnya Pulau Jeju.
Saya sendiri langsung tertarik dengan pembahasan ini karena kemiripannya dengan sesuatu yang telah familier bagi saya, yaitu haenyeo. Tidak saya sangka akan bertemu dengan versi lokalnya.
Setelah berbincang sebentar, saya pamit kepada ibu tersebut dan mulai jalan lagi mendalami jantung kampung tersebut. Saya menjadi paham setelah melihat langsung, mayoritas penduduk di sana bermata pencaharian sebagai nelayan kerang hijau dan buruh pengupas kerang.
Jalanan yang memberikan respons "kres kres" pada setiap langkah yang diambil, akibat cangkang-cangkang kerang ijo yang berhamburan di jalanan. Cangkang kerang ijo yang sudah entah berapa lama tertimbun di sana itu bersatu dengan tanah dan membentuk jalanan yang padat, menggantikan aspal, bahkan aman untuk dilalui kendaraan sekalipun. Menurut Pak RW, warga setempat menamainya “Gunung Kerang”.