Dalam ruang kelas yang biasanya kaku dan satu arah, Keating menjadikannya laboratorium untuk mempertanyakan, merenung, dan—yang terpenting—memutuskan.
Salah satu metode ikonik yang Keating terapkan adalah meminta siswa berdiri di atas meja. Tujuannya bukan teatrikal, tapi filosofis: melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dalam sistem yang membentuk keseragaman, tindakan ini seperti pernyataan halus bahwa berpikir kritis dimulai dari keberanian untuk tidak berada di posisi biasa.
“Just when you think you know something, you have to look at it in another way.”
Neil Perry : Tentang Pemberontakan dan Harga yang Dibayar
Neil Perry yang ternyata sangat menyukai dunia akting, selalu merasa tertekan ketika ayahnya, Mr. Perry membahas soal masa depannya yang diharuskan menjadi dokter. Bahkan ia telah diminta mundur dari kegiatan organisasi yang disukainya kerena takut mengganggu fokus belajarnya.
Nampaknya pembelajaran Mr. Keating tak hanya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Cara berpikir Keating tentang kebebasan membangkitkan semangat pemberontakan dalam diri Neil bahwa setiap manusia berhak atas dirinya sendiri. Hal ini membuat Neil berani mengambil peran utama dalam pementasan A Midsummer Night's Dream di sekolahnya. Baginya, hal ini bukan sebagai ajang unjuk bakat belaka, melainkan sebagai bentuk perlawanan kepada ayahnya untuk menunjukan eksistensi dirinya. Menunjukan dirinya sebagaimana adanya tanpa perlu dikotak-kotakan oleh akademi, nilai, maupun harapan orang tua.
Mungkin bagi Neil Perry, ideologi Mr. Keating merasuki hingga ke tulang sum-sumnya. Salah satu perkataan Mr. Keating yang pernah mempengaruhi temannya yang lain, Charlie Dalton. Yang mana ketika ia menyalah gunakan kebebasan berpikir untuk benar benar melawan 'norma' yang sebenarnya. Hingga akhirnya Keating ditegur dan ia berkata "Menyedot tulang belakang hingga ke sum-sumnya bukan berarti tersedak olehnya"
Sebagaimana sebuah benda yang sangat berharga, kebebasan Neil harus dibayar dengan titah lain dari ayahnya. Ayahnya yang begitu marah melihat pementasan Neil pun akhirnya memaksa Neil keluar dari Welton dan memintanya untuk sekolah tentara. Neil yang merasa tak punya pilihan, atau lebih tepatnya tak berani mempunyai pilihan lagi (semenjak ayahnya berkata seperti itu) dengan tragis memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan revolver ayahnya di tengah malam.
Kisah yang tragis karena ayah Neil tentu menangisi keputusan anaknya, teman-teman Welton (terutama Todd) yang sangat merasa kehilangan, dan segala prestasi potensial Neil yang sia-sia begitu saja. Hal ini bukan tentang baik atau buruknya, melainkan pilihan Neil Perry untuk menunjukan eksistensi murninya, atau tidak sama sekali. Keputusannya berada antara bayang-bayang perlawanan dan keputusasaan yang saling merenggut kebahagiaan.
Secara psikologi sosial, tragedi Neil menggemakan konformitas normatif. Eksperimen Asch (1951) menunjukkan 75 % peserta rela menjawab keliru demi selaras dengan mayoritas, sementara studi fMRI remaja (Steinberg et al., 2020) menemukan bahwa tekanan orang tua dan teman mengaktifkan pusat nyeri sosial di otak. Neil, terjepit di antara dua otoritas, akhirnya memilih otonomi paling sunyi yang bisa ia capai: memutus hidupnya sendiri.