Mohon tunggu...
Kurnia Zohari
Kurnia Zohari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia

hobi nya maen pokoknya sambil diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuasa Politik Jalanan Orde Baru

31 Mei 2022   21:30 Diperbarui: 31 Mei 2022   21:44 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Preman menjadi figur yang selalu ditemukan dalam sejarah Indonesia, ikut mewarnai retakan-retakan historis negari ini.. Premanisme bukan merupakan barang baru di Indonesia, melainkan sudah mengurat berakar dalam masyarakat Indoensia. Ia telah lahir sejak pada periode klasik yakni zaman kerajaan-kerajaan hingga periode sekarang. Dulu biasanya mereka masih melakukan praktik kekerasan konvesional dan tradisional dengan dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil namun sekarang preman atau jawara di Banten, jago di Jawa Timur, blater di Madura dan sebagainya berwujud mengatasnamakan organisasi masyarakat yang bisa beradaptasi dan berdampingan dengan negara. Menjelaskan preman pada masa reformasi tidak bisa dipahami merunut pada sejarah preman dan hubungannya pada masa Orde Baru. Kekerasan cenderung sangat rentan sekali terjadi, ditambah terbukanya ruang publik, kebebasan dan terebntuknya organisasi dikalangan sipil tidak selalu berkorelasi dengan tiadanya kekerasan, adanya tindak kekerasan dengan dalih pengamanan yang dilakukan oleh kalangan vigilante dan kuasa jalanan yang terorganisir menunjukan transformasi praktik premanisme dengan logika yang lebih mengarah kepada paradigma kepentingan politis juga dalam ranah pragmatis melalui konsepsi “jatah preman.

Premanisme telah berurat akar dalam kehidupan bangsa Indonesia, eksistensi mereka telah diakui lintas zaman. Sebagaimana menurut Bertrand  (2004, hlm. 36) pembentukan negara Indonesia sejak merdeka tahun 1945 sangat bergantung kepada berbagai pemerintahan tidak langsung dan kewenangan informal, sebuah fakta penting yang memuluskan persekutuan antara tangan-tangan negara dan unsur kriminal. Hubungan antara negara dan jejaring kejahatan terbentang jauh sampai sebelum kemerdekaan, bahkan dikukuhkan pada masa zaman klasik kerajaan-kerajaan. Sebeleum era kolonialisme dan imperilisme asing, lanskap sosial di Nusantarra dibumbui oleh aneka macam penyamun, pendekar, tentara bayaran, ahli suluk, panglima perang, para pangeran dan sejumlah ornag kuat dan para kelompok pengguna kekerasan yang tinggal dalam apa yang digambarkan oleh Schulte sebagai “ hidup bersama yang saling bermusuhan”, realitas seperti ini dicirikan sebagai negara pertikaian , dimana pemberlakuan kontrol efektif apapun atas penduduk setempat dan sumber daya alamnya membutuhkan negosiasi tanpa henti, pembentukan serta pembubaran persekutuan disamping pertunjukan ritual pameran kekerasan yang secara buas bersifat pragmatis (Schulte, 1991, hlm. 75). Kecakapan para jago atau jawara dalam penggunaan kekerasan serta akses kepada ilmu kanuragan serta menjadi mediator antara kalangan awam dengan stake holder  yang dipercaya masyarakat menjadi modal politik bagi para jago untuk melegitimasi kuasa teritorialnya. Sudah menjadi karakter tersebiri bahwa jago mempunyai sifat kesetiaan pada komunitasnya seakan teori ashobiyyah Ibn. Khaldun diimplentasikan oleh mereka dengan pandangan in-group dan out-group walaupun kepercayaan masyarakt terhadap jago sering diiringi oleh rasa takut akan konsekuensi yang diterima apabila kesetian yang diberikan para jago dikhianati sehingga fenomena tersebut bermuara pada keadaan kekuasaan dan kejahatan itu muradif.

Hubungan Kekerasan, Pengamanan dan Negara pada Orde Baru dan Reformasi

            Pembahasan apapun mengenai para spesialis kekerasan non formal akan selalu dipijakkan pada keberadaan kelangsungan serengkaian hubungan tertetnu serta batas-batas konseptual yang merumuskan negara dan masyarakat. Berulang kali para spesialis kekerasan non pemerintah secara efektif bersekutu dengan pemerintah, menjadi bagian dari pemerintah, mengambil alih pemerintah yang ada atau menjadi pemerintahannya sendiri (Tilly, 2021, hlm. 38). Mereka tetap bertahan sebagai aktor yang gigih dan kerap kali berperan utama baik dalam pelanggengan maupun peralihan kekuasaan dan kewenagan politik dalam berbagai bentuk yang berbeda. Sudah menjadi rahasia umum bahwa invidu atau organisasi kekerasan tetap ada dan menjamur sehingga legitimasi nominal berbasis persetujuan sudah diberikan kepada negara melalui praktik demokrasi multi partai baik tingkatan lokal maupun nasional. Kehadiran kelompok pengguna strategi koersif dalam mencapai kepentingan partikular memberikan pergseran dalam ekonomi-politik koersi dan mengaburkan anggapan kekerasan yang didalangi negara menjadi strategi kekerasan untuk mencapai berbagai kepentingan multi sektor. Praktik kekerasan tersebut yang telah mengakar melintasi zaman menjadi suatu warisan budaya dan sejarah serta fragmentasi dari konfirgurasi kuasa formal dan informal sebelumnya yang terbentuk mengkristal pada masa Orde Baru. Pola yang telah terdokumentasikan dengan baik dimana preman dan geng-nya kerap terampil menerima manfaat utama dari politik elektoral demokratis, baik sebgaai kandidiat, pendongkrak keberhasilan, maupun makelar kekuasaan yang mampu memonopoli kekuasaan dengan ancaman kekerasan dan menjalankan fungsi lainnya atas nama klien. Kekerasan non-negara terus terjadi bukan ketidak mampuan negara untuk menghentikannya, namun karena kenyataan bahwa elite-elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan sendiri (Masaki dan Rozaki, 2006, hlm. xi).

Konsep jatah preman dan perluasannya dalam rezim jatah preman atau yang disebtu Weberian sebagai monopoli teritorial atas penggunaan kekuatan fisik secara absah. Secara logis dapat dipahami sebagai keharusan negara untuk berupaya meredam dan menghapuskan setiap pesaing internal atau eksternal atas monopolinya. Legitimasi negara bergantung pada keberhasilannya dalam mengontrol sarana sekaligus penggunaan kekerasan didalam teritorinya. Menurut Weber, legitimasilah yang memisahkan negara dalam hal penggunaan kekerasan dari kelompok-kelompok dan individu penjual kekerasan lainnya, weber memandang negara sebagai produk dari pergulatan untuk meraih dominasi, di mana legitimasi mucnul sebagia hasil dari kemampuan suatu kelompok untuk membatasi kekerasan dari kelompok pesaing melalui pembangunan suatu kekuatan koersif yang lebih unggul, pemeliharaan batas-batas teritorial yang disusul dengan oengubahan aparat koersif menjadi lembaga hukum dan birokrasi demi penegakkan hukum dan hak-hak (Weber, 1978, hlm. 78). Sebagaimana Spinoza (dalam Wilson, 2021, hlm. 6) mengatakan bahwa keadaan paradoks negara adalah saat ia menetapkan hukum, tidak ada yang membuatnya terikat secara melekat kepadanya. Individu atau suatu kelompok penjual kekerasan yang bebas dari hukum di wilayah teritorial hukum sendiri artinya mempunyai suatu tempat yang cukup sexy di antara penguasa dengan previladge dan relasi kuasa yang dibangunnya atau melalui jasa yang dibarternya dengan penguasa utnuk kelanggengan kekuasann itu sendiri. Penempatan label perusuh atau kelopok subversif dari penguasa dominan kepada individu atau kelompok terkait dan bergantung kepada watak hubungan antaera sebuah kelompok atau individu dengan kuasa dominan ini. Tidak mengherankan apabila dilihat dari paradigma historis dan komparatif, garis yang menghubungkan antara kekerasan absah negara dan tidak sah non neagra berada pada wilayah yang dipenuhi ambigutas konseptual. Legitimasi itu  pada akhirnya bergantung pada pihak yang melihatnya, sebuah tindakan penilaian normatif yang gagal untuk menjelaskan bagiamana cara ia bisa dihasilkan sebagai produk dari hubugan pertukaran yang melibatkan kekuatan koersifn dan output dari penataan struktural tertentu antara kelompok-kelompok pengguna kekerasan.

DARI SISKAMLING HINGGA PETRUS

            Pada akhir 1970an, beberapa organisasi pelaku kekerasan non-negara menjadi lebih mapan dan profesional, mereka mengembangkan jasa pengamanan swasta sampai dipandang mampu menyaingi dan menjadi tantangan otoritas kepolisisan. Ketakutan yang terbseit dibenak militer dan polisi adalah kemungkinan bahwa geng-geng dan para pengusaha keamanan ini bersatu ke dalam premanisme struktural yang lebih luas mengingat persepsi bahwa polisi lebih mahal dan kurang ampuh menangani keamanan ketimbang geng. Sebagai respon, Kapolri A. Djamin merancang struktur pengawasan teritorial ektensif yang dikenal sebagai sistemn keamanan lingkungan atau siskamling, dengan maksud membawa kelompok-kelompok ini kembali ke bawah kendali polisi (Wilson, 2021, hlm. 91). Jaringan pos keamanan lokal yang diwakili oleh gabungan antar warga setempat dan garda keamanan yang terdaftar di bawah arahan polisi yang bertanggung jawab untuk memelihara keamanan setempat, dan diinventarisasi, klasifikasi dan diinspeksi secara teratur oleh polisi. Menurut Barker, 1998, hlm. 14) hal ini dilakukan untuk mengembalikan monopoli kendali atas peran pengamanan, wilayah perlu dipecah-pecah kedalam satuan kecil yang bisa diamati. Sistem siskamling menciptakan peran resmi baru bagi geng-geng lokal, ada yang direkrut menjadi hansip dan ronda malam diserahi tanggung jawab atas keamanan lingkungan, sementara Satpam memiliki tugas menjaga dunia usaha, terminal bus, dan tempat-tempat umum yang kesemuanya ini dikoordinasikan secara terstruktur oleh divisi kepolisian yang dibentuk secara khusus untuk ini yaitu Bimbingan Masyarakat (Binmas).

Merupakan suatu pilihan logis jika para preman dan pengusaha keamanan swasata merupakan sasaran siskamling untuk perekrutan, baik preman maupun pengawasan lingkungan merupakan alat yang cukup efektif bagi pemantauan sehari-hari masyarakat, serta siskamling menjadi wadah pengintegrasi dalam mesin pengawasan birokratik. Namun dalam pelaksanaannya, dominasi atas garda pengamanan ini menjadi terbatas dan kian melemah akibat oraktik korupsi. Dan yang menjadi ciri signifikan antara kelompok preman dengan garda pengamanan ini hanya terletak pada atributnya saja, geng preman tanpa beratribut formal, sedangkan garda pengamanan dihiasi atribut lengkap dengan beking institusi yang berwenang. Bisa jadi upaya memanfaatkan preman sebagai garda pengamanan telah memperkuat monopolisasi negara, namun sekaligus juga semakin menggerogoti apa yang tersisa dari integritas institusional dan legitimasi polisi menurut Wilsaon (2021, hlm. 92) dikriminalkan, sedangkan kelompok pengguna kekerasan non-formal dimiliterkan. Pemberlakuan siskamling seyogyang untuk menghilangkan kejahatan dengan mempersempit sampai tingkat lokal, dan negara dalam hal ini menarik kembali garis kontrol teritorial dan sekaligus dengan itu merekonfigurasi baras-batas diskursif yang menentukan sumber perlindungan yang absah, suatu kelompok yang tetap bergerak diluar sistem ini tanpa perlindungan yang kuat atau organisasi kepemudaan yang direstui negara seperti Pemuda Pancasila, dengan mudahnya akan dicap sebagai penjahat dan proses pembersihan dengan dalih kemanan negara menggunakan cara ekstrim akan diberlakukan kemudian sebagai penegasan kembali legitimasi kekuasaan dari negara terhadap rakyatnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun