Mohon tunggu...
Rachmad Kusumardana
Rachmad Kusumardana Mohon Tunggu... Relawan - EEPIS Mechatronics Student College

Study & Share

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Teman-teman Tuli Lebih Memilih Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia)

20 Juni 2019   12:23 Diperbarui: 20 Juni 2019   12:39 4254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kintan (Tuli) dalam Workshop "Linking Hearts With Sign Language". (Sumber: Dok. KARTUSURABAYA)

Berbicara mengenai komunikasi, yang terbesit dipikiran adalah komunikasi verbal (lisan atau tulisan) dan non-verbal (isyarat atau bahasa diam) (komunikasipraktis.com), dalam hal ini tentu saja secara umum verbal menjadi momok komunikasi primer. 

Bagaimana halnya dengan teman-teman Tuli? Ya, mereka suka dipanggil dengan kata "Tuli" bukan menyebut mereka dengan kata "Tuna Rungu" yang selama ini dikenal sebagai kata yang terbilang sopan, namun sejatinya kata "Tuna" sendiri berarti "Rusak" dan kata Rungu artinya "Pendengaran" maka Tuna Rungu artinya "Rusak Pendengaran" dan mereka merasa terdiskriminasi akan panggilan Tuna Rungu. 

Dalam KBBI redaksional "tuli" sendiri bersifat kasar, berbeda dengan menggunakan kata "Tuli" dengan huruf "T" besar karena kata tersebut menunjukkan identitas sebuah kelompok minoritas yang berkembang, memiliki budaya, dan pengguna Bahasa Isyarat dalam berkomunikasi. 

Tuli menghormati orang dengar dengan membaca bibir orang dengar awam yang berkomunikasi dengan Tuli, maka Tuli minta dihargai dengan menyebut mereka "Tuli", ujar Kintan selaku Wakil Ketua Komunitas Arek Tuli Surabaya (KARTUSURABAYA) dalam Workshop "Linking Hearts With Sign Language" di FEB Universitas Airlangga pada Sabtu 4 Mei 2019.  (solider.id).

Disabilitas Tuli berkomunikasi dengan menggunakan dua jenis Bahasa yaitu SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). 

Bagaimana sejarah dari lahirnya kedua Bahasa tersebut? SIBI merupakan bahasa serapan dari ASL (American Sign Language) yang kemudian diresmikan dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan dibakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 30 Juni 1994 sebagai sistem isyarat bagi kaum tunarungu dan dijadikan sebagai sistem ajar pada seluruh kurikulum Sekolah Luar Biasa (SLB). 

BISINDO merupakan bahasa yang lahir secara alami dari kebutuhan kaum Tuli sendiri, pada kenyataannya kelompok Tuli sudah sejak tahun 1966 membentuk sebuah organisasi bernama Gerakan Kaum Tuli Indonesia (GERKATIN) dengan membuat bahasa komunikasi mereka sendiri yaitu BISINDO, dan organisasi ini berkembang luas di Jawa dan Indonesia, serta kosakata BISINDO berkembang dengan pesat dan BISINDO menjadi sarat akan Budaya Tuli karena bahasa ini lahir dan berkembang dari kaum Tuli Indonesia sendiri. 

Kaum Tuli di seluruh Indonesia memang lebih memilih untuk menggunakan BISINDO. Kintan memaparkan dalam sesi "Deaf awareness" tersebut bahwa bukan tanpa alasan, namun kaum Tuli sendiri bingung akan konsep SIBI dan cenderung lebih lama, contohnya saja kata "saya menganggur" maka peragaan dalam SIBI adalah isyarat "saya" -> isyarat awalan "me-" -> isyarat buah "anggur", hal ini jelas menimbulkan perbedaan makna antara kata "menganggur" dan kata dasar "anggur" yang disertakan dalam SIBI.

 

Kalimat
Kalimat "Saya menganggur" dalam SIBI. (Sumber: Dok. Pribadi)

 

Kalimat
Kalimat "Saya menganggur" dalam BISINDO. (Sumber: Dok. Pribadi)
Sedangkan peragaan "saya menganggur" dalam BISINDO adalah isyarat "saya" -> isyarat "tangan ditengadahkan pada dagu" ditambahkan dengan ekspresi lesu atau murung yang menandakan sedang "menganggur". Di sini dapat disadari bahwa konsep BISINDO langsung pada arti, bukan Bahasa Indonesia yang diisyaratkan per kata, BISINDO memuat gestur, ekspersi, visualisme, tidak ada imbuhan awal akhir dan bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia yang dengan mudah dapat digunakan dalam pergaulan isyarat kaum Tuli sehari-hari, ujarnya.

Lantas mengapa pemerintah tetap mengukuhkan SIBI sebagai sistem isyarat bagi masyarakat Tuli Indonesia? Hal ini memaksa murid-murid di SLB harus belajar dan berkomunikasi SIBI dalam praktisi mengikuti kegiatan belajar di sekolah, sementara di kehidupan sosial Bersama Tuli lain mereka tetap memilih menggunakan BISINDO. Hal ini juga yang membuat intrepeter (penerjemah) menjadi dualisme. 

Bila di mana guru-guru SLB memilih untuk menggunakan SIBI untuk berkomunikasi kepada murid dan menjadi penerjemah pada suatu acara tertentu, lain halnya dengan intrepeter (penerjemah) dari non-akademis, mereka ada berbaur dengan organisasi dan komunitas Tuli, dan mereka menggunakan BISINDO sebagai media komunikasi dikarenakan memang BISINDO yang dibutuhkan dan dipilih oleh teman-teman Tuli.

3

Intrepeter dalam dalam Workshop
Intrepeter dalam dalam Workshop "Linking Hearts With Sign Language". (Sumber: Dok. KARTUSURABAYA)
Mengacu pada Pancasila sila ke-2 yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan berabad" maka nilai kesetaraan yang terkandung di dalamnya, mencakup bahwa kesetaraan hak bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk hak masyarakat Tuli, karena masyarakat Tuli juga melakukan kewajiban yang sama sebagai Warga Negara seperti mengurus identitas kependudukan dan membayar pajak, bukan tanpa upaya juga, namun sudah banyak upaya dan lobbying yang dilakukan oleh teman-teman Tuli terkait penuntutan Hak akan diakuinya BISINDO sebagai bahasa isyarat secara hukum, baik penunjukkan petisi kepada Kementerian Pendidikan dan Kementerian Sosial, laporan kepada pemerintahan oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), dan juga sosialisasi yang dilakukan oleh banyak organisasi di Indonesia guna menyebarluaskan BISINDO dan kesetaran Tuli.

Apabila mengacu pada Pancasila sila ke-5 yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" maka masyarakat Tuli juga berhak mendapat perlakuan adil dalam seluruh aspek kehidupan yang melingkupi ekonomi, politik dan budaya, fasilitas ramah disabilitas Tuli seperti halnya di bandara, terminal, dan dalam akses mendapat informasi melalui media televisi tentunya juga harus mendapat pemerintah agar masyarakat Tuli dapat menikmati secara fungsional, mengingat dalam menjalankan kewajibannya dalam hidup bermasyarakat tetap mengikuti peraturan yang berlaku, dan menjadikan komunitas masyarakat Tuli adalah salah satunya agar mendapat kepercayaan diri untuk berbaur dengan lingkungan dan mempertahankan sikap gotong royong dalam masyarakat.

Sosialisasi BISINDO di Taman Bungkul. (Sumber: Dok. Pribadi)
Sosialisasi BISINDO di Taman Bungkul. (Sumber: Dok. Pribadi)
Lama berjuang dan menunggu, apakah hasil dari upaya-upaya yang telah dilakukan? Sejauh ini akhirnya keinginan PPDI untuk merevisi UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat masuk ke dalam Program Legilasi Nasional 2015, namun hingga kini naskah RUU tentang Disabilitas yang ada belum memuat bahasan mengenai BISINDO. 

Berkaitan dengan Hari Bahasa Isyarat Internasional pada 23 September 2018, KOMINFO mengambil langkah untuk wajibkan siaran berita gunakan BISINDO, ya kini kita dapat melihat pada pojok kanan bawah termuat porsi bingkai kecil seorang penerjemah, namun ukuran ini dinilai kecil oleh teman-teman Tuli dan saat penyiaran isi berita secara langsung, fasilitas ini belum tersedia, tentu jenis siaran di televisi bukan hanya berita, namun siaran lain. 

Diharapkan dari capaian hasil yang telah ada, kedepannya BISINDO dapat diakui secara tertulis oleh Negara dan dipakai secara menyeluruh dalam segala aspek termsuk bahan ajar SLB, semakin banyak masyarakat Indonesia yang mau belajar bahasa isyarat dan tidak segan berkomunikasi dengan Tuli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun