Mohon tunggu...
kus aprianto
kus aprianto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kartini di Pasar Godean, Sleman

21 April 2018   20:33 Diperbarui: 24 April 2018   10:06 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Ndhuk... mampir. Mbok ditumbasi (belanja di sini)... " Sapa seorang Simbah Perempuan Tua. Istriku berhenti. Lalu membeli bawang merah. Bawang merah sebenarnya masih ada di rumah. Namun karena sapaan ramah Mbah itu agaknya membuatnya mampir. Tidak banyak yang di beli. Hanya setengah kilo, 8.000 rupiah. Lalu mengalirlah cerita seakan-akan Mbah sudah begitu akrab dengan kami. Tentang anak-anaknya, cucunya, usaha dagangnya. 

Dia berkisah telah berjualan di situ sejak pasar Godean itu belum dibangun seperti itu. Usianya sudah 90 tahun lebih. Masih sehat dan semangat. Sekalipun kadang untuk melihat berapa nilai selembar uang kertas yang di tangannya dia harus mendekatkan sedemikian rupa dengan matanya. Andai ada pembeli yang jahat dengan mengakukan uang 10 ribu sebagai uang 100.000 ia bisa tertipu. 

Saat ditanya apa pernah ada yang menipu, dia bilang tidak. Dia percaya pada orang lain. Andai ada yang menipu dia iklaskan. Dia berangkat dan pulang ke pasar diantar jemput oleh salah satu anaknya. Tapi dia tinggal sendirian, karena anak-anaknya sudah mentas semua. Seharian di pasar dia tidak jajan atau membawa bekal makanan. Dia hanya mengandalkan sarapan pagi dan makan sore setelah di rumah. 

Katanya, orang setua dia sudah tidak mudah lapar. Hahahaaaa... beda dengan para pedagang perempuan yang masih muda. Rata-rata berdandan cantik, selalu ngemil atau makan, sehingga badannya subur-subur. Dia bertanya-tanya tentang kami. Dan menebak bahwa kami masih baru di Godean. Dan memang benar, kami baru 3 tahun di Yogyakarta. Mbah Moyo namanya. Dia akan berhenti berjualan jika memang sudah tidak bisa berjalan lagi.

Jadi ingat novel Canting karya Arwendo Atmowiloto. Dalam budaya patriakhi, di mana laki-laki adalah yang di depan, sering merepresentasikan keluarga atau kelompok, sering mendapat posisi mayor, maka perempuan sering menjadi "bayang-bayang" bahkan subordinasi dari manusia yang adalah laki-laki. Namun naluri alamiahnya sebagai manusia yang memerlukan aktualisasi diri untuk juga bisa punya kapasitas, diakui, bahkan memiliki "kekuasaan", maka PASAR adalah salah satu tempat yang dapat menjawab kebutuhan batin perempuan. 

Terlebih dalam konteks jaman dulu di mana ruang-ruang public selalu "dikuasai" laki-laki. Memang saya melihat ada yang beda antara laki-laki dam perempuan berdagang di pasar. Laki-laki lebih berorientasi pada hasil dan keuntungan. Perempuan, selain berorientasi pada hasil dan keuntungan, mendapatkan kepuasan batin bisa menjadi "tuan", "ratu", "penguasa" atas dirinya yang mungkin dalam ranah lain dia "dikuasai" laki-laki.


@sebuah catatan feminist dari perspektif maskulin,

Januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun