Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung

22 Januari 2018   08:40 Diperbarui: 22 Januari 2018   18:22 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim

hingga Hikajat Kebonagung

(CatatanKecilSetahunMenulis diKolomBudaya Malang Post)

“Urip dadi apa wae kena, pokoke bener lan temen tumemen”

Munali Patah[1]

24 November 2014 tepat setahun lalu tulisan pertama saya Ang Hien Hood dan Siauw Giok Bie dimuat di kolom budaya Malang Post. Tulisan sepanjang 1345 karakter itu saya kirim Jumat, 15 November 2013 pukul 15.11 wib.

Adalah rekan Bagus Ary Wicaksono dari Malang Post yang menuliskan “budayawan” di bawah foto close upsaya. Banyak orang lantas menyebut wajah saya mirip Munir, aktivis HAM.

Foto close up hasil bidikan Ridhuwan, sahabat di es-em-pe satu Mojokerto. Dan sejak 24 November 2013, hampir setiap minggu tulisan saya dimuat di kolom budaya koran itu. Tercatat 39 tulisan hingga 16 November 2014. Awalnya Mbak Adinda Noer Zaini dan Mas Bagus Ary Wicaksono yang meng-handle tulisan saya, namun sejak Mbak Dinda berpindah ke Malang Ekspres, kiriman tulisan saya langsung ke e-mail Mas Bagus Ary Wicaksono.

Kenapa menulis di Malang Post?

Saya menikah dengan Pendeta Novarita di GKI Kebonagung, 18 Januari 2014. Artinya saya akan menetap di Kebonagung. Ini adalah fase kedua saya masuk Malang. Tahun 1987 saya masuk Malang untuk kuliah. Tahun 1990-an saya aktif di Forum Sikat Gigi dan Teater Bellgombest di Malang. Apakah saya tetap menjadi networkerkebudayaansaat masuk kembali ke Malang.

Saya memilih menuliskan peristiwa budaya yang pernah saya alami. Lalu saya mulai membeli koran lokal yang memiliki rubrik seni budaya. Tersebutlah Malang Post. Selanjutnya berkenalan dengan redaksi Malang Post. Bersama Danial Ahmad saya hadir di acara Emha Ainun Najib & Kyai Kanjeng di depan kantor Malang Post. Bertemu Mas Sumarga Nurtantyo, kawan lama di kampus yang saat itu bekerja di Malang Post. Mas Marga mengenalkan saya dengan Mas Bagus, Redaksi Malang Post. Begitulah kisah bergulir seperti air mengalir.

Saya bertemu lagi dengan Mas Bagus saat launching media budaya Pasar Senggol di Gedung Dewan Kesenian Malang. Sejak saat itu, kami intens berkomunikasi khususnya berbagi informasi peristiwa seni budaya. Dan, 12

November 2014 sore hari saya bertemu Mas Bagus di kantor Malang Post, mengutarakan ide untuk menulis kolom budaya di Malang Post setiap minggu selama setahun. Beberapa jam kemudian, saat saya berada di Kebonagung, Mas Bagus mengirim pesan pendek bahwa Pemimpin Redaksi Malang Post setuju dengan ide yang saya ajukan. Puji syukur..

Sebagai koran lokal, Malang Post memiliki kepedulian pada dunia seni budaya. Salah satu bukti kongkritnya adalah terbitnya Barisan Hujan, Kumpulan Cerpen Pilihan Malang Post 2010. Saya hadir dalam launching Barisan Hujan di Perpustakaan Umum Kota Malang. Anita D.Retnowati, Redaktur sastra Malang Post saat itu, memilih 15 cerpen dari 39 cerpen yang dimuat Malang Post sepanjang 2010.

Dalam buku setebal 142 halaman tersebut, Anita D.Retnowati menulis “Selama perjalanannya, Malang Post turut serta mengawal perkembangan cerpen di wilayah Malang Raya lewat rubrik cerpen yang terbit tiap hari Minggu. Rasanya sudah menjadi alas an kuat untuk menerbitkan kumpulan cerpen pertama ini. Kendati Malang Post hanya sebuah Koran lokal yang terbit di Malang, tetapi kiprahnya dalam mendukung gairah menulis para cerpenis Malang tak pernah surut.”. Hingga tahun ini sudah 16 tahun rubrik cerpen hadir di Malang Post. Halaman Sastra dan Budaya Malang Post juga menyediakan ruang untuk puisi, resensi buku dan esai. Inilah pertimbangan kenapa saya menulis kolom budaya di Malang Post, karena Malang Post telah memiliki halaman sastra dan budaya.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan menulis sebuah artikel?

Ini adalah pertanyaan Mbak Adinda Noer Zaini saat bertemu di kantor Malang Post. Untuk menulis sebuah artikel saya membutuhkan waktu 3 hari, kadang juga beberapa jam. Energi terkuras untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah saya alami saat masuk Malang tahun 1987.

Mencari kawan-kawan lama untuk menemani ingatan yang terkadang memudar. Salah satunya adalah Setyo Pambudi di ruang komputer Fakultas Kedokteran Unisma. Jadilah tulisan Akulah Bisma, Laki-laki yang Selalu Tersudut di Pojok Lingkaran (5/1/2014). Terkadang saya menulis di malam hari lalu paginya saya rapikan sebelum saya kirim.

Pernah juga tiga hari saya tak bisa tidur nyenyak. Bayangan sosok almarhum Pendeta Edy Sumartono terus menggedor-nggedor isi kepala saya. Saya mulai mengetik tulisan Nyanyi Sunyi Pdt Edy Sumartono (1969-2014). Saya benar-benar merasa plongsetelah tulisan tersebut selesai, dan dimuat di Malang Post, 11 Mei 2014. Beberapa saat sebelum Pendeta Edy Sumartono berpulang, saya bertemu beliau di acara Live In Samin di Bojonegoro.Ada yang mengatakan bahwa 40 hari sebelum wafat, seseorang dapat dianggap ‘almarhum’.

Dapat berdiskusi dengan beliau di Bojonegoro merupakan suatu anugerah. Sebelumnya saya pernah wawancara dengan ‘almarhum’ yang lain. Namanya Pak Atim, salah satu pemain karawitan Wayang orang Ang Hien Hoo dan pernah tampil di hadapan Ir.Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia. Saya menuliskannya dalam Bung Karno dan Ang Hien Hoo. (26/1/2014)

Saat menulis ada hal-hal pendukung yang memperlancar selesainya sebuah tulisan?

Saya berdoa agar Tuhan membuka pintu ilmu pengetahuan untuk saya. Dan apa yang saya tulis dapat bermanfaat. Musik dari album Bulan Di Asia ( Java Jazz), Solo Piano Improvisations ChickCorea banyak mendukung daya kreatif saat saya menulis. Juga secangkir kopi hitam panas dan beberapa snack.

Bagaimana formula dalam menulis untuk kolom budaya Malang Post?

Saya menuliskan apa yang saya lakoni dalam dunia seni budaya dalam kurun 25 tahun, saya tambahkan referensi pendukung. Saya masukkan film yang pernah saya tonton, buku yang pernah saya baca, warung kopi langganan saya. Saya kumpulkan data sebanyak mungkin. Lalu saya menuliskannya dari sudut pandang personal dengan bahasa tulis yang sederhana. Saya mengambil sisi yang tidak populer, hal-hal sederhana dan acapkali luput dari publikasi. Lokasi kegiatan dari peristiwa seni budaya yang saya tulis sebagian besar di Malang, ada juga yang terjadi di Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Bojonegoro, Surabaya. Saya menuliskannya di pastori GKI Kebonagung, hotspot, warnet.

Ada yang menarik setelah tulisan diterbitkan di Malang Post?

Banyak hal-hal yang menyenangkan. Tulisan Perjalanan Musikal Redy Eko Prastyo Bersama Leo Kristi(1/6/2014) dimuat dalam buklet, buku program dan web album terbaru Leo Kristi, musisi folk Indonesia “Hitam Putih Orche”. Moehammad Sinwan memperoleh Penghargaan Seniman Jawa Timur untuk Bidang Teater dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Saya bersyukur, sebelumnya telah menulis Moehammad “Lek Boss” Sinwan & 30 Tahun Teater IDEOT(17/8/2014).

Saya bertemu kawan lama setelah beliau membaca tulisan hasil wawancara saya dengan Pak Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang, Saya Bersyukur Menjadi Seniman Ludruk(19 dan 26 Oktober 2014). Pak Os, Ketua RW saya menempel tulisan Ada Gendhies Di Kebonagung (27/4/2014) di ruang depan rumah beliau dan bisa dibaca banyak warga saat menyaksikan nobar Arema di rumah beliau.

Siapa yang menjadi motivator dalam menulis? 

Bapak Max Arifin (1936-2007), penerjemah Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marquez. Saat saya masih tinggal di Mojokerto, saya dan Novarita hampir setiap hari bertemu Pak Max dan Bu Max. Namun ada saat-saat beliau menunda pertemuan karena sedang menyelesaikan tulisan untuk media yang diterbitkan Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto.

Meskipun honor yang diterima dari Tabloid Warta Majatama tidak besar namun Pak Max tetap disiplin dalam mengirim tulisan. Beliau juga sepenuh hati dan serius dalam menulis. Motivator lain adalah Pak Hardjono WS (1945-2013), Mbak Ratna Indraswari Ibrahim (1949-2011). Ada dua tulisan bersumber dari Mbak Ratna: Membaca Karya Ratna Indraswari Ibrahim (15/6/2014) dan Mbak Ratna(1/12/2013). Juga Pendeta Novarita, istri terkasih yang setiap minggu menulis khotbah sepanjang sembilan belas tahun ini.

Ide menulis datang dari mana?

Dari mana saja, kapan saja, dimana saja, tak terduga.Saat ngopi di Bu Jum, Magersari, Mas Cossa Bayu Paramita, guru sekolah minggu, mengenalkan saya pada Pakde Susilo yang sedang lewat di depan kami. Jadilah tulisan Padepokan Pak Susilo di Kebonagung (20/7/2014).

Sering jagongan dengan Pak Os, Pak RW saya menjadi tulisan Ada Gendhiesdi Kebonagung (27/4/2014). Tulisan Sepotong Kisah Pak Frans Edward Klavert(13/7/2014) muncul setelah istri saya member informasi bahwa ada jemaat di GKI Kebonagung yang piawai bermain gitar. Tulisan Hikajat Kebonagung (16/11/2014) muncul setelah ngopi dengan Pak Asa Wahyu Setyawan Muchtar di warung kopi 87. Saya baru menuliskan ide-ide yang berkelebatan tersebut setelah saya menjadi gelisah.

Ada lagi yang ingin disampaikan?

Scripta manent verba polant.Apa yang tertulis akan abadi, sementara yang terucap akan hilang tertiup angin. Semoga tulisan-tulisan sederhana saya sepanjang satu tahun ini dapat bermanfaat bagi pembaca Malang Post. Semoga suatu hari saya dapat membukukan tulisan-tulisan tersebut.

Demikianlah. Selamat hari Minggu.

*Dinukil dari buku Munali Patah, Pahlawan Seni dari Sidoarjo, tulisan Henri Nurcahyo, Moh. Ridlo’I,  Dewan Kesenian Sidoarjo, 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun