Mohon tunggu...
Kuncoro Maskuri
Kuncoro Maskuri Mohon Tunggu... Doktor Linguistik Pragmatik

Pembelajar Bahasa/Linguistik, Sosial Budaya, Pendidikan, dan Keagamaan. (email: dibyomaskuri@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Makna Tertentu di Belakang Sebuah Kritik Politis

1 Mei 2018   19:42 Diperbarui: 1 Mei 2018   20:24 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Makna Tertentu di Belakang Sebuah Kritik Politis

Situasi politik cenderung selalu dinamis dan juga memanas setiap mendekati suatu peristiwa politik tertentu, khususnya dalam pemilihan umum presiden/wapres dimanapun berada, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang menerapkan sistem demokrasi dalam bernegara. 

Pemilihan umum untuk memilih presiden/wapres adalah sebuah peristiwa sangat penting bagi perjalanan hidup suatu bangsa, karena akan menentukan apakah situasi kehidupan berbangsa dan bernegara manjadi lebih baik atau tidak di masa yang akan datang.

Dinamika kehidupan politik menjelang pemilihan umum presiden hampir selalu memunculkan situasi panas di masyarakat, ini bisa kita jumpai dari interaksi politik yang terjadi antara para politisi yang tidak sedang dalam posisi berkuasa dalam mengelola negara dan pemerintahan (pihak oposisi) dengan para politisi yang sedang berkuasa dalam mengelola negara dan pemerintahan (pihak pemerintah).

Interaksi politik yang dimaksud disini adalah berkaitan dengan pernyataan-pernyataan politis yang dituturkan oleh para politisi dari pihak oposisi yang ditujukan kepada pihak pemerintah. Pernyataan politis ini biasanya berupa kritik terhadap kebijakan-kebijakan publik dan penerapannya, yang  dibuat dan dilakukan oleh  pihak pemerintah.

Namun sering kali yang jadi ramai atau gaduh di masyarakat  adalah lebih terletak pada bagaimanakritik disampaikan (cara mengkritik) bukan pada isi kritik yang disampaikan (substansi kritik). Bagaimana kritik disampaikan atau cara mengritik, dalam tinjauan linguistik pragmatik (ilmu yang mengkaji makna tuturan/kata-kata yang diucapkan seorang penutur/pembicara), berkaitan erat dengan tindak berbahasa yang disebut tindak tutur mengancam muka.

'Muka' yang dimaksud di sini adalah  citra diri, martabat, kedudukan sosial atau gengsi, baik 'muka' dari si pengritik maupun yang dikritik. Oleh karenanya, ketika para politisi dari pihak oposisi mengritik kebijakan-kebijakan publik pemerintah dan penerapan dari kebijakan-kebijakan tersebut, pada dasarnya mereka sedang melakukan tindak mengancam 'muka' pemerintah. Sebaliknya, karena merasa 'muka'-nya terancam, maka  pemerintah memberi jawaban atas kritik dari pihak oposisi tersebut,  ini berarti pemerintah sedang melakukan tindak menyelematkan 'muka' diri. 

Dalam prakteknya,  kedua jenis tindak tutur tersebut, (tindak mengancam dan tindak menyelematkan muka), muncul secara bersamaan, sama seperti dengan satuan mata uang yang selalu mempunyai dua sisi. Dengan demikian, ketika sesesorang, siapapun dia ( politisi atau bukan politisi), mengritik orang lain (pengritik) ataupun memberi respon sebuah kritik (yang dikritik), dia melakukan dua tindakan sekaligus secara bersamaan, yaitu tindak  mengancam 'muka' orang lain dan  tindak menyelematkan 'muka' diri sendiri.

Dari pengertian tentang 'muka' dalam tinjauan linguistik pragmatik/pemakaian kebahasaan ini, bisa dimengerti tentang alasan mengapa sebuah kritik berpeluang menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Dan ini  akan menjadi lebih gaduh lagi bila tuturan/kata-kata yang digunakan (diksi) dalam menyampaikan kritik atau merespon kritik bersifat negatif, kasar, atau mengejek_ hal ini merupakan bagian dari cara mengritik bukan  substansi kritik.

Adapaun contoh kritik mengenai  kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh pihak oposisi yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat kita belum lama ini contohnya adalah: (1) kritik dari Amin Rais tentang program Nawacita Presiden Joko Widodo menjadi Nawasengsara karena menganggap janji-janji yang ada di Nawacita tidak ada yang terealisasi dan (2) kritik dari Prabowo Subianto beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa tahun 2030 Indonesia bubar karena Indonesia kehilangan kedaulatannya karena ekonomi nasional yang dikuasai oleh pihak asing.

Kedua contoh kritik ini telah mampu menimbulkan kegaduhan di masyarakat karena pilihan kata yang digunakan (diksi) dapat menarik perhatian publik yang membaca atau mendengarnya, yaitu pada kata 'nawasengsara' (1) dan Indonesia bubar (2). Memilih suatu kata tertentu untuk mengritik ini merupakan bagian dari 'cara mengritik'. Dan kritik yang disampaikan oleh kedua tokoh politik tersebut bukan sekedar sebuah kritik tetapi ada makna lain di belakangnya, yang makna tersebut bisa dikenali dari tuturan/kata-kata/bahasa yang digunakan dan konteks situasi yang melatari tuturan tersebut muncul.

Tuturan yang digunakan oleh kedua tokoh di atas dalam mengritik kebijakan pemerintah, dalam tinjauan linguistik pragmatik,  menggambarkan sebuah tindak mengancam 'muka' pemerintah yang berarti sebuah tindak  mengancam kedudukan sosial ataupun citra diri pemerintah.  Jadi maksud dari kritikan tersebut pada dasarnya adalah menggoyang kedudukan sosial sekaligus merusak citra diri pemerintah di mata rakyat.

Pertanyaannya kenapa itu dilakukan oleh pihak oposisi? Ini bisa dilihat dari konteks tuturan yang melatari munculnya kritik tersebut yaitu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang tahap awalnya akan dimulai secara formal bulan Agustus 2018 mendatang. Dengan merusak citra diri diri pemerintah dan menggoyang kedudukan sosialnya, pihak oposisi bermaksud memberikan kesan buruk/jelek kepada rakyat atas kinerja ataupun capaian  pemerintah selama ini, setiap  kebijakan pemerintah akan selalu dianggap buruk atau jelek.

Tindakan semacam ini akan semakin sering dilakukan sampai nanti menjelang pelaksanaan pemberian suara/ pencoblosan. Dengan terus menerus menyebarkan kesan buruk/jelek pemerintah kepada rakyat maka citra diri dan kedudukan sosial pemerintah akan merosot di mata rakyat,  sehingga  rakyat akan bisa terpengaruh/mudah dipengaruhi untuk memilih  Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh pihak oposisi, inilah harapan/maksud utama dari pihak oposisi melakukan kritik terus menerus kepada pemerintah.

Berdasar keterangan di atas, maka tidak perlu heran bila pihak oposisi cenderung tidak akan pernah memberikan apresiasi positif  atas kinerja atau prestasi pemerintah. Dan dalam mengritik pihak oposisi menggunakan kata-kata/tuturan yang bersifat kasar atau tidak santun  karena tuturan/kata-kata tersebut memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan memunculkan kegaduhan/kontraversi di masyarakat.

Bila pihak yang dikritik (pemerintah/penguasa) menjawab kritik secara kasar pula maka akan  menjadi kontraproduktif, keadaan justru menjadi berlipat-lipat gaduhnya sehingga merugikan pihak penguasa/pemerintah sendiri. Sebagai penguasa pemeritah harus menjawab dengan tuturan/kata-kata/bahasa yang santun/halus guna meredam kegaduhan  yang terjadi di masyarakat_ berperan sebagai penguasa/pemerintah memang harus demikian.  

Sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, pemakaian tuturan/kata-kata yang kasar dalam interaksi politik menunjukkan praktek berpolitik yang tidak elegan/sportif, dan dari segi edukasi, tidak memberikan pendidikan berinteraksi politik yang baik, sehat, dan santun kepada masyarakat.

Maka tidak perlu heran juga, kalau sebagian masyarakat sendiri dalam berinteraksi sosial sehari-hari baik di media daring maupun non-daring juga menggunakan bahasa atau tuturan yang kasar (melakukan ujaran kebencian), karena melihat langsung para elit/pemimpin negeri, baik dari kalangan politisi maupun birokat,  mempraktekan cara bertutur yang tidak baik.

Di masyarakat kita masih kuat adanya anggapan  bahwa seorang pemimpin, pemimpin di bidang apapun, harus mampu menjadi panutan/teladan bagi yang orang-orang yang dipimpinnya.

Politik adalah masalah kekuasaan, kekuasaan tidak akan pernah langgeng. Sekuat apapun penguasa (pemerintah) memegang kekuasaannya cepat atau lambat pasti akan terlepas akan berganti peran menjadi oposisi, dan sebaliknya pihak oposisi akan berperan menjadi penguasa/pemerintah, masin-masing akan memainkan peran sesusai dengan kedudukannya.

Hukum alam ini perlu diingat dan disadari kembali oleh semua pihak, termasuk masyarakat dan utamanya para politisi dan penguasa, agar suasana kehidupan damai dan tentram terjadi.

(solo4501052018)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun