Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Membaca Kesuksesan Euro 2020 dan Copa Amerika 2021

18 Juli 2021   08:20 Diperbarui: 18 Juli 2021   08:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerardus Kuma. Dok.pribadi

Siapa tidak kenal sepak bola? Bila kita tanyakan kepada anak-anak atau orang tua, atau orang yang tinggal di kampung maupun di kota, semua akan menjawab kenal sepak bola. Ya, permainan ini digandrungi begitu banyak orang. Sepak bola bagai candu yang menghiptos manusia.

Sepakbola begitu populer di semua kalangan masyarakat. Tidak heran setiap kali pertandingan sepak bola diadakan penonton selalu membludak. Tidak ada pertandingan bola kaki yang sepi penonton. Jangkan liga-liga besar di negara maju, pertandingan antar kampung saja penuh dengan penonton.

Popularitas sepak bola membuat bintang sepak bola menjadi idola semua kaum. Bintang sepak bola yang berhasil menghadirkan trofi bagi klub atau negara dipuja di mana-mana. Di Argentina, misalnya, Maradona dianggap sebagai tuhannya orang Argentina karena mampu mempersembahkan trofi piala dunia bagi negaranya.

Di tengah pandemic Covid-19 kita menyaksikan suskses diselenggarakannya dua tournament akbar sepak bola. Euro 2020 dan Copa Amerika 2021. Tournament pertama diselenggarakan di benua Eropa dan yang kedua digelar di benua Amerika (khusus Amerika Selatan).

Seturut kalender pertandingan, dua event sepak bola ini harus digelar tahun 2020. Namun virus korona memaksa penyelenggaraan tournament ini harus ditunda. Setelah setahun, Euro 2020 dan Copa Amerika 2021 akhirnya diselenggarkan dengan konsekuensi jumlah penonton dibatasi.

Pelaksanaan Euro 2020 dan Copa Amerika menjadi hiburan bagi masyarakat di tengah serangan korona di mana banyak orang kehilangan orang-orang terkasih dan tidak sedikit yang harus menjalani isolasi. Di saat aktivitas di ruang public dibatasi dan semua orang diwajibkan berada di rumah, Euro 2020 dan Copa Amerika 2021 hadir sebagai oase.

Euro 2020 yang digelar di 11 negara dimulai 12 Juni -- 12 Juli 2021 mengikutsertakan 24 negara yang dibagi dalam enam group. Setelah menyelesaikan pertandingan di masing-masing group, dua tim teratas dan empat tim peringkat ketiga terbaik berhak melaju ke babak enam belas besar.

Ingris dan Italia kemudian bertemu di partai puncak setelah menyingkirkan lawannya masing-masing. Final yang digelar di Wemblei menghadirkan Italia sebagai kampiun lewat kemengan adu pinalti setelah bermain imbang-imbang 1-1 selama waktu normal dan perpanjangan waktu.

Berbeda dengan Euro 2020, Copa Amerika 2021 digelar di satu negara, Brazil tanggal 14 Juni -- 11 Juli 2021. Event ini diikuti 10 negara yang dibagi dalam 2 group, masing-masing berisi lima negara. Setelah melewati pertandingan di group empat tim terbaik melaku ke babak gugur.

Brazil dan Argentina lalu berhadapan di final setelah melewati hadangan semua lawannya. Di partai puncak, Argentina berhasil keluar sebagai juara setelah menang 1-0 lewat gol Angel Di Maria.

Keberhasilan pelaksanaan Euro 2020 dan Copa Amerika 2021 dapat kita jadikan refleksi atas situasi sepakbola tanah air kita yang selalu menyodorkan fakta negatif baik yang terjadi di dalam maupun di luar arena arena pertandingan. Sejauh ini sepak bola tanah air lebih menampilkan wajah yang suram dengan prestasi minim.

Tidak jarang kita menyaksikan pertandingan bola yang berakhir rusuh. Di dalam lapangan bola baku hantam antar pemain, sementara di luar arena bola tawuran antar supporter pun tidak kalah seru. Mafia sepak bola, pengaturan skor pertandingan, kompetisi bola yang kacau balau adalah potret wajah buram sepak bola Indonesia.

Sepak bola tanah air lebih banyak menampilkan adu otot ketimbang adu skill. Dunia sepak bola tanah air yang sering menimbulkan chaos membuat citra sepak bola sebagai permainan menjadi rusak.

Permainan sepak bola tidak lagi menjadi sarana aktualisasi jati diri (bangsa) tetapi sebaliknya merendahkan martabat bangsa. Pada titik ini fitrah manusia sebagai homo ludens terdegradasi ke level hewani. Menurut Doni Kleden (Pos Kupang, 12/08/2015) ada pembeda yang sangat subtantif antara ludens yang terdapat pada manusia dan ludens yang terdapat pada hewan.

Letak pembeda itu adalah kesadaran dan integritasnya. Pada hewan, ludensnya dikendalikan oleh naluri, insting yang bersifat refleks dan bukan refleksi. Pada manusia, ludensnya dikendalikan oleh akal, otonomi, integritas, dan kesadaran (consciousness).

Konsekuensinya, urai Kleden, manusia tidak mudah tidak akan membiarkan dirinya terperosok ke dalam ludens yang merendahkan integritasnya, otonominy, dan melenyapkan kesadarannya. Karena ludens pada manusia selalu berangkat dari kesadarannya yang rasional sebagai manusia yang selalu memperhitungkan segala konsekuensi logis dari perbuatannya. Artinya segala perilaku hidup selalu berangkat dari refleksi, bukan refleks sebagaimana yang ada pada hewan.

Kericuhan-kericuhan yang sering terjadi di arena bola kaki tanah air harus segera dibenahi agar tidak merusak citra sepakbola bangsa di mata dunia. Sebagai sarana pengungkapan diri (bangsa), sepak bola harus dijaga agar tidak ternoda aksi-aksi tidak terpuji. Bila kepada dunia kita tidak mampu menunjukkan prestasi timnas bola kaki, cukuplah kita tunjukkan bahwa sepak bola bangsa ini berada pada level ludens sebagai manusia, bukan ludens sebagai hewan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun