Mohon tunggu...
Krueger Kristanto Tumiwa
Krueger Kristanto Tumiwa Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, Peneliti, Penulis

Krueger tertarik dengan isu agama, sosial dan pendidikan. Selain itu ia juga penggemar anime, pencinta alam serta tidak suka membuang makanan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perpustakaan: Program Pra-Gib yang Perlu Dikawal Jika Mereka Resmi Terpilih

29 Februari 2024   15:57 Diperbarui: 29 Februari 2024   15:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Buklet Visi, Misi Program Prabowo-Gibran

Pemungutan suara sudah selesai dua minggu yang lalu (14 Februari 2024), meskipun demikian proses penghitungan suara masih terus berlangsung hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengumumkan hasilnya secara resmi. Paling tidak, berdasarkan real count yang dilansir oleh Narasi Newsroom melalui akun Instagramnya per tanggal 26 Februari 2024 pukul 15.00 WIB, pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka mendapatkan suara terbanyak yaitu sekitar 58%.

Sambil menunggu pengumuman resmi hasil Pemilu 2024 oleh KPU, ada satu program terkait pendidikan yang menarik untuk dikawal oleh masyarakat Indonesia jika Prabowo dan Gibran terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Dalam buklet visi, misi, dan program "Bersama Indonesia Maju", pasangan Pra-Gib menjanjikan asta cita atau delapan misi untuk Indonesia maju. Di dalam misi besar keempat terdapat program yang terkait dengan pendidikan yaitu pembangunan perpustakaan.

Ternyata pasangan Pra-Gib tidak hanya menjanjikan makan siang dan susu gratis bagi anak sekolah dan pesantren. Mereka juga berjanji untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan membangun perpustakaan. Tepatnya bunyi program itu, berdasarkan buklet program mereka, adalah demikian: "Membangun perpustakaan dan taman-taman bacaan untuk mendorong gerakan literasi masyarakat". Program ini sangat menarik meskipun ada tantangan yang perlu diatasi. Berikut ini alasan mengapa program ini perlu dikawal realisasinya dan apa tantangannya:

Pertama: Apakah perpustakaan masih dibutuhkan di tengah maraknya bacaan digital?

Ungkapan "buku adalah jendela dunia" rasanya masih relevan hingga kini. Tentu yang dimaksud "buku" tidak terbatas pada buku saja melainkan artikel, majalah, koran, novel, dan lain-lain, entah yang dicetak atau digital. Membaca dapat memberikan pengetahuan bagi banyak orang. Semakin banyak yang dibaca maka semakin banyak pengetahuannya. Persoalan di era digital saat ini adalah: apakah sumber bacaan hanya dapat dilakukan di perpustakaan?

Banyak orang saat ini mengakses bacaan melalui smart phone atau gawai pintar lainnya, tablet misalnya. Mulai dari mahasiswa, dosen hingga peneliti membaca referensi dari buku atau artikel elektronik. Perubahan ini juga yang membuat perusahaan koran beralih memproduksi bacaannya dari cetak ke digital, meskipun ada juga yang tetap memproduksi dengan cetak dan digital sekaligus, Harian Kompas misalnya. Namun, menariknya ada juga perpustakaan yang tidak pernah sepi pengunjung di era digital ini.

Perpustakaan di kampus-kampus tidak pernah sepi pengunjung. Saya beberapa kali ke perpustakaan salah satu kampus di Malang, jumlah pengunjungnya luar biasa banyak. Tapi menariknya para mahasiswa tidak hanya membaca buku atau jurnal ilmiah cetak tetapi juga yang berbentuk digital. Mereka juga ke perpustakaan bukan semata-mata meminjam buku tetapi berdiskusi, memanfaatkan wifi, dan mencari tempat nyaman untuk bekerja. Dengan demikian, fungsi perpustakaan saat ini bergeser dari yang sekadar melayani peminjaman buku ke memfasilitasi ruang kerja yang nyaman atau perpustakaan sebagai coworking space. Hal berbeda dengan apa yang saya lihat di beberapa perpustakaan di daerah lain, terutama perpustakaan daerah milik pemerintah kota. Perpustakaannya sepi dan ruang belajarnya tidak menarik dan tidak nyaman.

Jika yang dimaksud dengan membangun perpustakaan adalah perpustakaan sebagai coworking space maka program ini layak diperhitungkan di tengah maraknya bacaan digital. Apalagi jika perpustakaan yang dimaksud akan dibangun di ruang publik di luar kawasan universitas. Perpustakaan yang relevan saat ini adalah perpustakaan yang tidak sekadar melayani peminjaman bahan bacaan tetapi juga memfasilitasi ruang kerja yang nyaman bagi individu atau kelompok, ruang baca yang menarik, layanan internet yang memadai, dan aman bagi pengunjung yang sedang membaca atau bekerja.

Kedua: Ketersediaan koleksi bahan bacaan yang memadai.

Membangun perpustakaan dan taman-taman bacaan bukan hanya sekadar membangun gedung dan tamannya tetapi juga koleksi literaturnya. Apa gunanya perpustakaan dan taman baca jika bahan bacanya tidak memadai, mulai dari jumlah judulnya kurang, genre referensinya tidak beragam, hingga jumlah eksemplarnya sedikit. Misalnya, perpustakaan di perguruan tinggi, harus memiliki koleksi literatur sebanyak 1.000 judul untuk 3 sampai 6 kelas/rombel dengan ketentuan 70% non-fiksi dan 30% bergenre fiksi. Selain itu perpustakaan diwajibkan memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Hal-hal ini diatur dalam Standar Nasional Perpustakaan. Untuk memfasilitasi semua itu juga diperlukan anggaran yang sangat besar. Untuk satu perpustakaan saja sudah besar anggarannya apalagi ditambah dengan taman baca (yang juga memiliki regulasinya sendiri) yang akan dibangun diberbagai wilayah di seluruh Indonesia.

Selain itu, koleksi literatur yang disediakan, baik yang dalam bentuk cetak maupun digital, harus up-to-date dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum. Saya beberapa kali mendapati koleksi yang sudah ketinggalan zaman milik suatu perpustakaan. Bukan berarti literatur tua itu tidak bermanfaat tetapi ada literatur yang sudah ada versi terbarunya atau edisi revisinya. Juga saya sering tidak menemukan referensi yang saya butuhkan karena perpustakaannya hanya menyediakan bahan bacaan dari bidang ilmu tertentu. Hal-hal ini perlu diperhatikan dalam merealisasikan program ini. Terkait anggaran, selain koleksi judul, perlu juga membicarakan pembiayaan gaji petugas perpustakaannya dan biaya operasional-pemeliharaan perpustakaannya.

Terakhir yang tidak kalah penting: memperbaiki kualitas literasi masyarakat umum.

Program pembangunan perpustakaan merupakan program mulia karena hal ini berkaitan erat dengan tugas negara yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun ada masalah besar yang dapat mengganggu efektivitas program ini jika sudah terealisasi, yaitu kualitas literasi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi perpustakaan umum. Berbeda dengan perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi yang sudah memiliki pengunjung tetap yaitu siswa dan mahasiswa, perpustakaan untuk umum sering sepi pengunjung. Hal ini semata-mata bukan karena fasilitas perpustakaannya tetapi minat baca yang rendah. Jika ada pertanyaan: "Kan membangun perpustakaan memang untuk memperbaiki kualitas literasi masyarakat. Apa masalahnya?". Jawabannya: justru karena minat baca yang rendah membuat kualitas literasi pun kurang. Kebiasaan membaca itu tidak dapat semata-mata dapat dibangun dengan adanya perpustakaan tetapi itu sudah dilatih dan dibiasakan sejak kecil, sejak dalam lingkungan keluarga.

Oleh karena itu, pemerintah nanti perlu bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat terutama keluarga agar meningkatkan minat baca dari masyarakat sekitar. Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan non-formal pertama yang dapat menjadi sarana pembentukan diri anggota keluarga, termasuk pembentukan minat baca. Bagaimana strategi pemerintah mengajak keluarga-keluarga menerapkan gaya hidup yang dekat dengan membaca? Hal ini perlu dipertanyakan terkait suksesnya program pembangunan perpustakaan tersebut. Tidak bisa dibayangkan perpustakaan yang dibangun ternyata tetap sepi pengunjung meskipun berbagai sarana dan prasarana sudah disediakan.

Pada intinya, program pembangunan perpustakaan ini, termasuk taman-taman baca, untuk mendorong gerakan literasi masyarakat adalah program yang menarik bahkan penting. Jika berhasil maka dampaknya pada kualitas sumber daya manusia pun akan besar. Namun, tantangannya juga tidak kalah besar. Masyarakat perlu mengawal realisasi program ini. Tapi bukan hanya sekadar mengawal pemerintah membangun perpustakaannya, melainkan juga mengawasi bagaimana perpustakaan itu beroperasi. Perpustakaan yang dibangun harus efektif dan berdampak bagi masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun