Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Mimpi Jadi Kenyataan

4 Agustus 2021   21:46 Diperbarui: 4 Agustus 2021   22:06 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Colloseum Roma. Foto: bola.okezone.com.

"Jalan Menuju Mimpi", tentunya tidak hanya mengemas (packing) pengalaman manis yang menarik didengar dan dikonsumsi, akan tetapi juga menyimpan banyak kerikil dan tak jarang menemui tikungan tajam. Dari tajuk catatan ini -- Jalan Menuju Mimpi -- kita bisa mengira-ira bahwa penulis sepertinya sedang memberi testimoni seputar perjuangannya mengejar mimpi. Mimipi yang tidak lepas dari imajinasi. Imajinasilah yang mem-back up keberhasilan mimpi.

Dream is expensive! Oleh karenanya, banyak orang berusaha membukukan mimpinya dan berjuang untuk menggapainya -- walau harus menderita sekalipun. Perjalanan pengalaman Rm. Pras, MSF, dibuka dengan sebuah ilustrasi keterasingan yang menggumpali dirinya ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Roma -- kota yang terkenal dengan menara miringnya, menara Piza. Bau kota Roma dengan segala kebaruannya bagi sang pemburu panggilan dan ilmu sangat terasa.

"Roma......., kota menawan di tanah asing -- asing karena orang-orangnya, asing karena budayanya, asing karena bahasanya, asing karena aku belum mengenalnya dan asing karena ini adalah untuk pertama kalinya."

Kekalutan, ketakutan, kecemasan adalah sarapan hati dan pikiran yang menghantuinya. "Jangan-jangan, bagaimana jika begini-begitu," selalu menjadi bahasa ketidakpastian yang dibalut kejauhan mimpi yang dikejar. Akan tetapi, sebagai the newcomer hal ini adalah suatu kewajaran. Merasa terasing akan menjadi prolog sebuah perjalanan yang baru diresmikan -- ada banyak asumsi dan prasangka mendarat di dalam isi kepala. Memang, ketakutan datang sebelum Anda mengalami apa yang akan jalani. Rm. Pras, MSF, -- layaknya Rut dalam kisahnya ketika ia memilih untuk mengikuti Allah orang Israel (Rut 1-4) -- pada akhirnya mampu menyatu dengan atmosfer baru di tempat ia mengasah panggilan dan industri pengetahuannya.

Perjalanan sekaligus perjuangan itu, dibuka dengan perjumpaannya bersama kota Roma. Roma menjadi pintu masuk menuju San Giacamo, Brimingham, San Antonio, Rorschach, Vatikan, Mainz, dan Cortile. Kota-kota ini bukan hanya menjadi saksi perjalanan panggilan sang penulis, melainkan juga menjadi griya formasi -- home for on going formation -- baginya.

Di tempat-tempat ini, penulis berpapasan dengan orang-orang yang disebutkan Dia yang mengutusnya ketika masih berada di Indonesia. Apa yang menjadi kecemasannya di bait awal lantas berubah menjadi sweet memory yang kaku untuk dilepaskan. Di sini letak keterujian iman seorang imam -- ketika ia diutus ke tempat yang sama-sekali asing baginya -- ia justru menemukan orientasi Tuhan atas dirinya.

Mission sending yang dipikulnya sebetulnya adalah sebuah jalan yang mempertemukan penulis dengan dirinya sendiri dan Tuhan yang memanggilnya. Rekaman pengalaman iman yang dirajut dalam koridor "Jalan Menuju Mimpi," memperlihatkan bagaimana pergulatan iman seorang imam dengan berbagai tawaran yang memikat kelima indera. Penulis tentunya ingin menyeringkan perjumpaannya dengan Tuhan melalui tempat-tempat dan orang-orang yang berpapasan dengannya dalam pelayaran waktu. Tuhan ditemukan dalam perjumpaan.

Di sinilah aspek kelanggengan memori. Karena begitu dekat -- di mana semulanya merasa asing -- penulis "cukup berat" untuk melepaskan sahabat-sahabatnya di Benua Biru. Merasa at home, merasa dicintai, itulah perasaan yang dibahasakan. Akan tetapi, rencana Tuhan selalu berupa misteri. "La presenza di sacerdoti ospiti fra noi la ricchezza della casa". Kehadiran penulis adalah kekayaan bagi komunitas di mana penulis menghabiskan waktunya.  Tentunya, tidak terlepas dari kekuatan doa itu juga, "Tuhan, kutahu cintaku terbatas dan tak sempurna, tetapi kumau mencintai-Mu tanpa syarat, sebagaimana Engkau telah mencintaiku tanpa syarat dengan cinta-Mu yang sempurna dan tiada batas, (Jalan Menuju Mimpi, 2015:145).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun