Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kata "To Enforce The Law" sebagai Bentuk Kekerasan dalam Ilmu Hukum

1 Februari 2021   08:50 Diperbarui: 1 Februari 2021   09:01 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ilmu hukum. Foto: http://naufalhanan.blogspot.com/.

Hukum mulai diberlakukan setelah dipromulgasikan atau disahkan. Lalu, pertanyaannya adalah "Siapa yang berhak menetapkan hukum?" Di Indonesia, mereka yang menetapkan hukum adalah parlemen. Parlemen diberi kepercayaan untuk menetapkan hukum (fungsi legislasi).

Akan tetapi, proses penetapan hukum selalu bersentuhan dengan politik. Parlemen sebagai industri hukum, tidak lagi berdiri sendiri, namun cenderung "bermain mata" dengan politik. Perselingkuhan antara politik dan hukum, kadang-kadang melahirkan produk hukum yang intensional. Sebagai contoh di Indonesia, DPR pernah mengesahkan UU Pornografi, Pasal Kretek, UU Kebudayaan, UU KPK, yang sarat kepentingan dan selalu bertentangan dengan kepentingan publik.

Hukum pada dasarnya adalah produk dari kekuasaan. Di berbagai negara -- terutama negara demokrasi -- dibuat pembagian kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif (Presiden), legislatif (DPR) dan yudikatif (pengadilan). Ketiga lembaga ini beroperasi melalui kekuasaan. Parlemen sebagai kekuasaan yang membentuk hukum, seringkali menelurkan produk hukum yang bermasalah.

Hukum sebagai produk kekuasaan bukan tanpa kepentingan, karena klausal hukum normatif justru ditunggangi oleh kepentingan dan asumsi-asumsi politik. Agar produk hukum yang ditunggangi kepentingan bisa dipromulgasikan, maka hukum perlu ditegakkan (law must be enforced). Setiap warga negara akhirnya "dipaksa" untuk menaati hukum yang notabene syarat kepentingan.

Pemaksaan pengaplikasian pasal-pasal atau undang-undang bertujuan agar hukum dapat ditegakkan. Dalam hal ini, aspek legislasi (pengesahan atau dukungan dari publik) tidak lagi diperhatikan. Ketika hukum mendapat pengakuan oleh karena paksaan (have to, must, ought to), maka segala sesuatu dimungkinkan. Menurut Immanuel Kant, tidak ada hukum tanpa paksaan (no law without force).

Penerapan atau penegakan hukum bukanlah suatu kemungkinan kedua yang ditambahkan sebagai suplemen. Dalam bukunya Force of Law, Derrida menulis demikian:  "Applicability, "enforceability," is not an exterior or secondary possibility that may or may not be added as a supplement to law. It is the force essentially implied in the very concept of justice as law, of justice as it becomes law of the law as law" [Prancis: de la loi en tant que droit].

Artinya, hukum membawa serta unsur penegakan atau karakter memaksa dalam penerapannya. Di balik karakter memaksa -- harus ditaati semua warga hukum -- hukum tidak lagi berdiri sebagai pelayan keadilan. Unsur pemaksaan dari hukum, lahir bersamaan ketika hukum dipromulgasikan. Karakter memaksa dari upaya penegakan hukum justru cenderung melahirkan kekerasan performatif -- orang tunduk pada hukum, karena hukum memaksa. Kekerasan performatif biasanya beroperasi melalui bahasa, baik berupa perintah maupun larangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun