Mohon tunggu...
Kristal Pancarwengi
Kristal Pancarwengi Mohon Tunggu... Editor -

Akun ini sudah tidak aktif dan tidak akan pernah aktif lagi di Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wanita, Jangan Mau Dijuluki "Makhluk Sejuta Kode"

2 Juli 2016   06:12 Diperbarui: 5 Juli 2016   08:27 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit: sheknows.com

Wanita adalah makhluk sejuta kode. Ada jutaan maksud tersirat di setiap senyum, kalimat, dan gerak tubuhnya.”

Pernyataan barusan saya kutip dari sebuah kicauan yang nangkring di linimasa beberapa hari lalu. Merasa ikut “diseret” dalam twit tersebut, saya sukses dibuat penasaran dengan persoalan kode-mengkode seperti ini.

Kalau sudah membicarakan isyarat—sesuatu yang tersirat dan tersembunyi—mau tak mau kita juga membicarakan morse, enigma, dan kode. Semua tentu mafhum makhluk Tuhan mana di muka bumi ini yang dituduh paling getol menggunakan kode. Siapa lagi kalau bukan wanita? Saking masternya dalam dunia perkodean, mereka bahkan sampai dijuluki “makhluk sejuta kode”.

Stereotip wanita sebagai makhluk sejuta kode sebetulnya tidak sepenuhnya keliru, kenyataannya sejak kecil mereka memang dididik dan diarahkan menjadi pribadi yang pasif. 

Pola pikir dan nalar wanita dibentuk oleh ide-ide patriarkis—bahwa wanita tidak boleh lebih tinggi (atau minimal sejajar) dengan laki-laki, bahwa menyuarakan isi pikiran dengan lugas adalah sesuatu yang dianggap tabu dan menyalahi kodrat feminisnya sebagai makhluk yang harus dipimpin dan dilindungi. Tak ayal, tatapan aneh sering ditujukan pada wanita yang reaktif dan blak-blakan dalam bersikap.

Sadar tidak sadar, hal inilah yang justru memicu persoalan di kemudian hari. Ketika menginginkan sesuatu, wanita akan merasa lebih nyaman berlindung di balik kode agar tetap terkesan diarahkan dan dipilihkan. Walhasil, mereka cenderung berbelit-belit dalam mengutarakan kemauannya.

Di sini laki-laki dituntut untuk peka dan mengerti. Kabar buruknya, sebagai sasaran utama pasal perkodean, laki-laki justru kesulitan menerjemahkan kalimat yang diungkapkan pasangannya. Pada titik inilah sering terjadi kesalahpahaman; si wanita ingin ini, sedang laki-laki dengan segala kelempengan nalarnya tak kunjung peka dikode. Akhirnya, ngambek jadi pelarian.

Duh…Mestinya kita paham bahwa struktur otak laki-laki dan wanita berbeda, pun demikian dalam hal berkomunikasi. Ketika mengutarakan sesuatu, laki-laki cenderung lugas, menghindari basa-basi, dan langsung pada intinya, sedangkan wanita lebih senang memakai bahasa kias.

Contoh yang paling gampang saja, kata “terserah” bisa diinterpretasikan berbeda oleh keduanya, bagi laki-laki, terserah ya berarti terserah, sesederhana itu. Sedangkan bagi kaum hawa, kata “terserah” bisa bermakna lain. Konon, “terserah” adalah maqam ngambek tertinggi seorang wanita ketika kesal dengan pasangannya.

Ketidaksepakatan inilah yang sering menjadi akar persoalan dalam sebuah hubungan. Tak aneh kalau urusan anak manusia melulu berkutat pada persoalan tuduh-menuduh “wanita susah sekali dipahami,” lalu si wanita, “laki-laki nggak ada peka-pekanya sama sekali.”

Kalau sudah begini, sampai air salaman sama minyak juga nggak bakal kelar urusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun