Mohon tunggu...
Krisna Murti
Krisna Murti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rajin Menabung

Bismillah kaya raya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laki-Laki dan Perasaan Emosionalnya

23 Januari 2022   02:37 Diperbarui: 23 Januari 2022   05:01 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"laki kok cengeng, gak keren ah"

"lah cowok nangis, Cupuu!"

"Anak ayah kan laki-laki, gaboleh nangis ya".

Bagi anak laki-laki, kata-kata ini sudah sangat sering didengarkan bahkan ketika masih menjadi anak-anak. Kata-kata ini menjadi gambaran bahwa sedari kecil banyak anak laki-laki yang dididik untuk menghindari  sebuah emosi. Lebih parahnya lagi, mereka terbiasa dididik untuk membenci perasaan emosi. Emosi dijadikan dan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan menunjukkan kelemahan. Emosi hanya boleh dilakukan oleh anak perempuan saja. Menangis hanya boleh dilakukan oleh yang lemah saja serta jika kamu menangis maka kamu akan dianggap lembek. Kata-kata inilah yang melahirkan jebakan maskulinitas/trap masculinity di masyarakat kita atau yang saat ini populer kita dengar sebagai Toxic Masculinity. Jebakan maskulinitas inilah yang membuat laki-laki sulit utuk membahas hal-hal yang bersifat emosional. Oleh sebab itu, kebanyakan pria hanya mengalihkan beban emosi mereka ke gitar, sepak bola, rokok, atau perilaku agresi.

Tanpa disadari, kita sering melontarkan kata-kata diatas ketika melihat adik sepupu atau keponakan laki-laki yang sedang menangis. Dengan begitu kita akan meneruskan pola yang sama kepada mereka yang kemudian akan menjadi generasi penerus kita. Akibatnya, laki-laki masih terkena stigma negatif bila ingin menangis atau sekedar berbicara mendalam dari hati ke hati. Kini kebiasaan tersebut harus kita ubah karena setiap orang ingin hidup secara bebas dari kepalsuan dan mengedepankan authenticity & vulnerability (keaslian dan kerapuhan). Ini adalah zaman dimana lelak juga berhak menunjukkan sisi kemanusiaannya, yakni memiliki kerapuhan dan jujur terhadap setiap emosi yang dialaminya.

Sama seperti perempuan, laki-laki juga memiliki emosi. Tidak ada istilah jika perempuan lebih emosional dibandingkan dengan laki-laki, hal serupa dengan fakta bahwa perempuan itu juga makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Pembagian dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang menginginkan bahwa laki-laki harus terlihat kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan. Konsepsi itulah yang membuat laki-laki pandai memakai topeng dan menyembunyikan emosinya. Laki-laki menahan hasratnya untuk bercerita dan menyalurkan apa yang ia rasakan saat itu juga. Dan yang paling parah adalah ketika seorang laki-laki tidak dapat mengenal emosinya sendiri yang kemudian banyak laki-laki yang hanya bisa marah-marah ketika mereka sedang sedih dan kecewa.

Perempuan lebih mudah untuk mengekspresikan perasaan-perasaan seperti "saya malu", "saya sedang sedih", dan "saya sedang tidak baik-baik saja", sementara laki-laki perlu meyakinkan dirinya berkali-kali untuk mengepresikan perasaan yang mereka rasakan sebenarnya. Biasanya laki-laki menyalurkan emosinya melalui kegiatan fisik atau perenungan diri, seperti olahraga atau menghisap rokok. Itulah sebabnya mengapa jika seorang laki-laki sedang stress maka ia akan menghisap rokok lebih banyak dari biasanya. Jika tidak terkendali lagi maka laki-laki akan menjadi abusive atau melakukan kekerasan kepada pasangannya atau objek di sekitarnya. Kekerasan ini dilakukan karena mereka memiliki masalah kejiwaan yang tidak dapat terekspresikan. Toxic Masculinity inilah yang membuat kebanyakan laki-laki hanya bisa menyalurkan emosinya dalam bentuk marah-marah ke sosok terlemah di sekitarnya : anak dan perempuan.

Jadi, sebagai manusia yang harusnya dapat memanusiakan manusia kita harus lebih peka terhadap hal-hal yang sangat sensitif seperti ini. Mari kita sebagai seorang manusia harus bisa mentoleransi apabila kita melihat laki-laki menangis karena kita tidak tahu apa yang kita rasakan. Bisa jadi ia memang sudah lelah untuk memikul beban yang ada dipundaknya sehingga ia tidak tahu cara apa yang bisa dilakukan untuk meringankan beban tersebut, dan hanya menangis saja yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan perasaannya. Kita memang memiliki hak untuk berkomentar, tapi orang lain juga memiliki hak untuk tidak tersakiti dan itu yang lebih penting. Dan yang paling penting ketika anda tidak memiliki hal baik yang akan anda sampaikan, ada lebih baiknya kata-kata tersebut cukup disimpan dikepala anda saja.

Terimakasih saya ucapkan kepada Regis Machdy, author dari buku yang berjudul "Loving the Wounded Soul : Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia" yang menginspirasi saya untuk dapat menulis artikel ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun