Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayo Melawan Hoaks dengan Kearifan

24 Oktober 2017   09:11 Diperbarui: 24 Oktober 2017   09:18 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1. Pengantar

Tahun 2016 bertebar dengan ketidaknyamanan, media massa (sosial) telah memengaruhi kehidupan nyata -- menyobek hubungan orang per orang sehari-hari. Politik telah menjadi arena yang memabukkan bagi beberapa orang yang telanjur kecanduan, bahkan cenderung mengabaikan sesuatu yang manusiawi: keengganan, keseganan, rasa malu, juga harga diri. Kita telah memasuki suatu area globalisasi yang isi komunikasinya menjadi acuan untuk hidup sehari-hari. Terlepas hal itu nonsens atau logis, fakta atau citra, jujur atau sentimen -- akibat hoax yang diulang dan menyebar, sehingga menjadi pembenaran.

Kita tidak mau terjebak dalam kubangan yang sama, sebab (kubangan itu) tidak akan pernah membawa kita ke mana-mana, kecuali rasa kecewa. Jadi, marilah lebih waspada, bukan untuk mencuriga sesama, tetapi untuk lebih berani bertegur sapa sebagai sesama manusia.

Pada kolom "Cari Angin" dalam Tempo.co, Sabtu, 7 Januari 2017, Putu Setia menulis: "Berbohong adalah salah satu sifat buruk yang dibawa manusia hidup di bumi ini. Berarti orang berbohong dan berita bohong sudah ada sejak dulu. Bahwa kini masalahnya sangat serius, itu lantaran berita hoax dikembang-biakkan oleh media sosial dengan teknologi yang semakin canggih." Selanjutnya, pada akhir tulisan, Putu menutup dengan ... "Semua ini perlu dirumuskan selain akar masalahnya dibenahi, yakni bagaimana merekatkan kembali hubungan harmonis di masyarakat. Ini jauh lebih penting karena hoax hanya subur di tengah masyarakat amburadul."

Rupanya merekatkan kembali keretakan akibat kepentingan yang politis, itu yang harus lebih layak untuk dilakukan. Apabila kebijakan hanya berupa sanksi hukum atau pemblokiran akan selalu muncul celah-celah untuk berkelit -- kendati kebijakan "shock therapy" juga kadang dibutuhkan demi ketenangan keadaan. Namun, kita lebih memerlukan upaya-upaya untuk mengharmoniskan hubungan yang manusiawi, agar rasa simpati muncul dari kedalaman hati.

2. Mengais Upaya-upaya Kearifan

Pada kamus, salah satu arti mulut adalah cakap atau perkataan, sedangkan arti otak ialah alat berpikir, pikiran, dan benak. Dalam kehidupan sehari-hari keduanya sangat dominan, dibandingkan alat komunikasi apa pun mulut menduduki fungsi teratas. Sumber utama suara yang dikeluarkan mulut berasal dari pengolahan di dalam otak. Alat berpikir inilah yang menentukan mutu suara (percakapan) yang diucapkan manusia. Maka manakala Anda membualkan kata-kata, orang lain akan menangkap cara berpikir Anda. Berharga dan tidaknya bergantung pada reaksi yang timbul: membangun kemaslahatan atau kemudaratan. Pada wacana lain, suara (mulut) menjadi simbol firman Allah yang disabdakan kepada manusia. Jadi, apabila Anda berkata-kata menyebarkan syak wasangka dan kejahatan, ada waktunya Anda akan menuai pembalasan yang (lebih) mengenaskan dari-Nya.

Apabila organisasi Anda mempunyai AD-ART, juga peraturan tambahan tertentu tidak berarti boleh ditimpakan kepada yang lain. Apalagi organisasi sampeyan mengakui keberadaan Pancasila dan UUD'45, pasti sampeyan tidak akan melakukan pemaksaan sebab bertentangan dengan sumber dari segala sumber hukum tersebut. Jumlah anggota organisasi yang berjibun tidak otomatis boleh mengangkangi apa pun yang tidak sehaluan dengan kelompok sampeyan. Itu berarti menanggalkan peran mayoritas untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas. Kesadaran tertinggi mayoritas seyogyanya mengacu kepada kepentingan yang populis, terutama menghargai pluralitas sebagai keniscayaan di bumi pertiwi ini -- Indonesia. Organisasi sampeyan berada di negara kepulauan yang sudah berabad-abad dihidupi beragam budaya dan tradisi. Budaya untuk saling menyapa dan tradisi untuk saling berbagi. Sadarkah sampeyan bahwa sikap kepongahan tidak pernah berumur lama? Tahukah sampeyan bahwa Tuhan tidak cukup diuraikan dengan beberapa ayat kitab suci -- bahkan, kitab suci seutuhnya pun belum menggambarkan kebesaran-Nya yang menyelubungi semua galaksi? Jangan-jangan sampeyan tidak tahu bumi kita ini hanya noktah kecil di belantara galaksi bima sakti! Ah, sudahlah, sampeyan pasti tidak mau mengerti, apalagi peduli, karena sampeyan telanjur memelihara iblis di dalam hati!

Kafir berarti orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Pihak yang menyebut seseorang sebagai kafir, pasti mempunyai alasan tersendiri. Namun, di Indonesia latar sentimen terhadap agama bisa menjadi delik hukum -- kendati hukum tidak mengurusi iman seseorang. Jangan-jangan kita yang enggan berkaca bahwa tersulutnya sentimen agama justru menunjuk pada kekerdilan dalam beriman. Orang yang beriman tidak terusik dengan segala fitnah dan hasut yang cenderung tak bernalar. Manusia yang beriman dengan benar tidak mudah tersinggung dengan hujat dan caci, sebab dasar berimannya tidak kepada sesuatu yang ada di dunia, tetapi berada di akhirat. Iman yang percaya pada nilai keakhiratan akan menerima cemooh dengan hati rela dan gembira. Jadi, bilamana sangkaan kafir itu hanya didasarkan sebagian ayat-ayat kitab suci, rasanya si penyangka harus diperiksakan mentalnya. Kitab suci diwahyukan secara utuh untuk dihayati secara menyeluruh -- bukan dipotong-potong sesuai dengan kepentingan. Itulah yang terjadi kini, ayat dipotong untuk kepentingan siapa?

Dalam wawancara yang dilaporkan tirto.id , Kamis, 26 Januari 2017, yaitu wawancara Zen RS & Ahmad Khadafi dengan Quraish Shihab, ada satu topik yang dominan disampaikan oleh narasumber. Kata ajaib yang senada dengan warisan Beata Teresa dari Kalkuta India: kerendahan hati. Rupanya Pak Quraish mengetahui dengan persis asal-muasal munculnya pergolakan yang meresahkan khalayak yang akhir-akhir ini sering mencuat -- salah satunya: kurang rendah hati terhadap sesama.

("Seorang yang berkata 'saya tidak tahu' itu lebih cerdas daripada orang yang berkata 'saya tahu' padahal dia tidak tahu," katanya.Kerendahan hati itulah yang membuatnya sangat menyadari kemungkinan Tafsir al-Misbah yang ditulisnya sudah tidak lagi relevan atau bahkan memuat banyak kesalahan. Quraish Shihab menganggap setiap tafsir itu terikat dengan zamannya karena setiap tafsir atau studi tentang Alqur'an memang harus bisa menjawab problematika zaman sekarang.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun