Ironisnya, ego semacam ini jarang diakui secara terbuka. Ia muncul dalam bentuk-bentuk halus: ketidakhadiran dalam rapat penting, komentar sarkastik di balik layar, atau menolak inisiatif junior dengan dalih "sudah pernah dicoba dulu dan gagal." Padahal konteks sudah berubah, dan solusi lama mungkin memang tak lagi relevan.
Lebih dari itu, ego ini juga bisa menjelma jadi narasi tak adil: bahwa junior hanya "beruntung", punya "kedekatan dengan atasan", atau "pintar membangun citra." Semua ini lahir bukan dari observasi objektif, tapi dari ketidakmampuan menerima bahwa ada orang lain-yang lebih muda-yang memang sedang lebih unggul.
Lucunya, mereka yang paling vokal soal keadilan justru sering kesulitan menerima kenyataan bahwa keadilan juga berarti memberi ruang bagi yang kompeten, bukan hanya yang lebih dulu datang.
Saat Pengalaman Tidak Lagi Jadi Tameng
Pengalaman adalah aset, tapi bukan tameng untuk menolak perubahan. Di masa lalu, pengalaman kerja panjang sering dianggap jaminan mutlak atas kecakapan dan kepemimpinan. Tapi hari ini, pengalaman tanpa pembaruan kompetensi justru bisa menjadi beban-baik bagi pemiliknya maupun bagi tim yang harus terus menyesuaikan diri.
Dunia kerja berubah terlalu cepat untuk hanya mengandalkan "dulu saya begini". Tren pendidikan, teknologi, pola komunikasi, hingga manajemen tim berubah drastis. Maka, pengalaman yang tidak dibarengi dengan semangat belajar ulang (relearning) dan membuka diri terhadap pendekatan baru, bisa membuat seseorang justru tertinggal.
Yang ironis, ketika hasil kerja junior lebih berdampak atau cara kerjanya lebih efektif, sebagian senior justru memilih berlindung di balik label pengalaman. Padahal, bila ditilik lebih jujur, pengalaman seharusnya menjadi bahan bakar untuk membimbing, bukan alasan untuk menolak realita.
Senior yang matang secara emosional dan profesional biasanya justru merasa bangga ketika juniornya bersinar. Mereka melihat itu sebagai warisan kontribusi. Tapi senior yang menjadikan pengalaman sebagai klaim kekuasaan, akan sulit berdamai dengan kenyataan bahwa orang lain-yang lebih muda-bisa lebih cepat menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.
Toh, tidak ada yang meragukan pentingnya pengalaman. Tapi dunia tak lagi memberi tempat hanya karena "pernah", melainkan karena "masih relevan". Dan relevansi bukanlah soal usia, tapi soal kesiapan untuk terus belajar.
Menjadi Dewasa dalam Menyikapi Dinamika Generasi
Tidak semua orang siap melihat peran lamanya digantikan. Tapi menjadi dewasa bukan tentang terus memegang posisi tertinggi, melainkan tentang tahu kapan waktunya mundur satu langkah untuk memberi jalan-dan tetap memberi makna dari posisi baru.
Di sinilah letak kematangan sejati. Ketika seseorang bisa membedakan antara ambisi pribadi dan kebutuhan organisasi, antara luka ego dan fakta objektif, maka kolaborasi lintas generasi bisa benar-benar terwujud.
Penting untuk disadari bahwa regenerasi bukan pengkhianatan. Kepemimpinan yang berpindah tangan bukan bentuk penggusuran, melainkan proses alamiah dalam ekosistem sehat. Dan jika dilakukan dengan kepala dingin dan hati besar, momen ini justru menjadi ajang untuk berbagi pengalaman, mewariskan nilai, dan membentuk pemimpin yang lebih baik dari generasi sebelumnya.