Sebelum ada tanda centang biru dan fitur unsend, cinta datang lewat kertas binder bergambar kartun atau bunga-bunga.
Kalau sekarang PDKT tinggal kirim emoji mata love ke story atau DM "haii, cakep ", dulu beda cerita. Ada yang harus cari momen pas buat nyelipin surat ke laci mejanya, atau-lebih seringnya-titip ke teman sebangkunya dia sambil bilang, "Sssst... tolong sampein ya, tapi jangan bilang dari aku!"
Zaman belum serba instan. Mau dekat aja harus usaha dan siap mental. Belum lagi kalau suratnya dibaca rame-rame, atau malah nggak dibalas sama sekali. Deg-degan, iya. Malu, pasti. Tapi justru di situlah serunya.
Nah, kamu sendiri pernah ngalamin nggak? Tim nulis surat cinta di kertas folio, atau tim ngetik "eh mau nanya, ini siapa ya?" di DM Instagram?
Surat Kertas, Tangan Gemetar
Di era 90-an, PDKT itu ritual. Nggak bisa asal tembak, apalagi langsung baper. Semuanya serba bertahap, mulai dari mengintip dia lagi duduk di pojok kelas, saling pandang pas upacara bendera, sampai tahap paling krusial: nulis surat cinta.
Tapi bukan sembarang surat. Kertasnya harus dipilih yang estetik-biasanya gambar animasi Jepang atau bunga mawar dengan pinggiran warna-warni. Ditulis tangan dengan pulpen warna biru, kadang pakai wangi-wangian dari sobekan majalah. Isinya? Campuran pantun, kutipan lirik lagu, dan kalimat "aku suka kamu tapi nggak tahu harus mulai dari mana."
Yang paling menegangkan bukan saat nulisnya-tapi saat menyerahkan surat itu lewat teman.
Bayangin: kamu ngelipet surat segitiga, kasih ke sahabat kamu, terus dia bisik-bisik ke teman sebelah gebetanmu. Temannya langsung nempelkin surat itu ke tangan dia, dan kamu cuma bisa mengintip dari balik tirai kelas, berharap dia senyum... dan bukan langsung sobek suratnya!
Balasannya bisa datang tiga hari kemudian, seminggu, atau... nggak sama sekali. Tapi anehnya, deg-degannya itu justru bikin hari-hari di sekolah terasa seru dan penuh harapan. Beda dengan sekarang yang tinggal unsend kalau malu, atau mute chat kalau baper.
Teman, Saksi dan Titipan Rasa
Dalam dunia percintaan remaja 90-an, sahabat punya peran yang nggak kalah vital dari gebetan itu sendiri. Mereka bukan cuma teman curhat, tapi juga kurir cinta, tukang lobi, bahkan pengamat reaksi.
Bayangkan kamu baru aja selesai nulis surat, tangan masih gemetar, isi kepala udah campur aduk antara harapan dan ngeri ditolak. Di situlah peran teman masuk:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!