Beberapa waktu lalu aku mengikuti Green Jobs Academy yang diadakan oleh Coaction Indonesia. Awalnya aku hanya iseng mendaftar. Rasanya seperti perjalanan kecil untuk melihat dunia yang sedang berubah: dunia di mana "pekerjaan" tak lagi diukur dari gaji dan gedung kantor, tapi dari seberapa besar dampaknya bagi bumi dan sesama manusia.
Hari pertama pelatihan terasa penuh semangat. Ada 50 sampai 60 peserta muda dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Kami belajar tentang pekerjaan hijau (green jobs) dan transisi energi, kampanye digital, advokasi yang dipimpin anak muda, hingga bagaimana menulis esai yang bisa menggerakkan orang lain. Setiap sesi seolah membuka jendela baru: bahwa perubahan iklim bukan hanya tentang pohon dan sampah, tapi tentang arah masa depan dunia kerja.
Namun seiring waktu, jumlah peserta mulai berkurang. Di hari terakhir pelatihan, hanya sekitar 28 orang yang bertahan. Dari grup DIY--Jawa Tengah tempatku bergabung, hanya tersisa tiga peserta. Aku tidak kecewa. Bagiku, ini bukan kegagalan, melainkan cermin dari kenyataan: isu seperti green jobs dan transisi energi memang belum benar-benar membumi di kalangan anak muda di DIY-Jawa Tengah.Â
Banyak yang masih bingung apa itu green jobs, bagaimana memulainya, dan mengapa penting untuk masa depan mereka.
Padahal, menurut International Labour Organization (ILO), Indonesia punya potensi menciptakan lebih dari 3 juta pekerjaan hijau baru pada tahun 2030. Tapi potensi itu tidak akan berarti banyak jika tidak ada generasi muda yang siap mengambil peran. Survei Coaction Indonesia bahkan menyebutkan, hanya sekitar sepertiga anak muda yang memahami konsep green jobs dengan baik. Sisanya masih mengira pekerjaan hijau itu sebatas teknisi panel surya atau pekerja di pabrik listrik tenaga angin.
Aku tersenyum pahit setiap kali mengingat teman-temanku di Indonesia Timur. Di Pulau Banda, seorang kawan pernah bercerita ia harus mendorong motor karena bensin langka. Di Pulau Saparua, banyak anak muda pergi merantau karena lapangan pekerjaan begitu terbatas. Membicarakan transisi energi di tempat seperti ini terasa seperti kemewahan: padahal mereka di pulau-pulau kecil inilah yang paling terdampak dari perubahan iklim.
Pelatihan ini membuatku berpikir: mungkin green jobs di pulau kecil seperti Saparua tidak harus berbentuk industri besar. Ini bisa dimulai dari usaha kecil mengelola sampah, memproduksi pakan ternak dari sampah organik, atau mengajar anak sekolah memperkenalkan tentang energi bersih. Setiap langkah kecil itu adalah pekerjaan hijau juga, asal dilakukan dengan hati dan visi keberlanjutan.
Yang paling berkesan dari Green Jobs Academy bukanlah teori-teori besar yang aku dengar, tapi kesadaran baru yang tumbuh perlahan: bahwa perubahan besar selalu dimulai dari sekelompok orang kecil yang mau belajar. Bahwa pemuda bukan hanya penerima warisan, melainkan Penjaga Bumi.
Mungkin aku masih jauh dari sempurna memahami pekerjaan hijau dan transisi energi. Tapi kini aku tahu, perjuangan untuk bumi tidak harus dimulai dari Jakarta atau dari ruang konferensi internasional. Ia bisa dimulai dari diskusi kecil, dari halaman rumah, dan dari satu ide sederhana yang dapat ditumbuhkan bersama, misalnya mengadakan sosialisasi terhadap peluang pekerjaan hijau di sekolah menengah atas/kejuruan sederajat. Dan mungkin, dari sinilah generasi baru pekerjaan hijau Indonesia akan lahir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI