Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Trust

30 September 2024   09:39 Diperbarui: 30 September 2024   11:10 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

T R U S T

Suatu hari saya beli telor di suatu kios. Harga satu kilo berapa? 27 ribu. Itu yang sudah dibungkus berapa beratnya? 1 kilo! Coba timbang dulu? Ternyata beratnya 0.95 kilo. Satu kilo kurang 5 gram. Saya beri 27 ribu. Dan dia biasa- biasa saja. Tidak menunjukkan emosi apa pun, atau minta maaf. Selisih 5 gram itu nilainya 135 perak. Super receh. Tidak bisa jadi apa-apa jaman sekarang. Tapi bukan disitu persoalannya. Ini soal rasa percaya yang tergores.

Saat lain saya beli ayam potong setengah kilo di pedagang kios pasar. Berapa setengah kilo? 28 ribu! Saya bayar 29 ribu, dengan satu lembar 20 ribu, satu lembar 5 ribu dan 2 lembar 2 ribu. Total 29 ribu. Di SD saya diajari bahwa 29 ribu kurang 28 ribu adalah seribu. Jadi matematika dasar. Saya akan terima kembalian seribu. Tapi alih-alih menerima kembalian, dia hanya mengangguk, memberi tanda transaksi selesai dan saya harus segera pergi karena antrian pembeli selanjutnya sudah menunggu.

Saya kena mental. Mempersoalkan kembalian seribu mungkin akan membangkitkan cibiran dan perdebatan panjang. Belum lagi sikap merendahkan si pedagang, kok seribu saja jadi masalah seperti orang miskin saja.

Dalam waktu beberapa detik itu saya harus ambil keputusan. Meninggalkan lokasi tanpa protes, pergi dengan damai tapi kesal, atau memuaskan nafsu saya untuk berdebat soal moral yang mungkin tak dia pahami, bertengkar atau ekskalasi yang lebih dahsyat lagi dengan pukul-pukulan yang bisa menghasilkan tontonan spektakuler meski tidak dapat academy award.

Saya memilih pergi. Ah seribu perak  EGP, emang gue pikirin.

Tapi persoalannya bukan uang seribu perak. Ini merupakan hal yang lebih besar lagi.

Saya juga pernah melihat penjual sate ayam yang saat  satenya jatuh di jalanan yang becek dan kotor, lalu dipungutnya dan kembali diletakkan dipanggangan dan dia kembali mengayunkan kipas bambunya seperti tak terjadi apa-apa. Jika yang pesan sate itu tahu, apakah akan menyantapnya?

Ada juga sebuah supermarket besar yang sekarang sudah bangkrut (mungkin akibat doa-doa dan sumpah serapah ribuan pembeli yang kesal)  jika tidak punya kembalian, kasir menukarnya dengan permen. Permen jadi alat transaksi. Suatu saat akumulasi permen-permen itu saya bawa ke supermarket tersebut, ingin saya gunakan untuk mrmbayar belanjaan saya. Ternyata ditolak oleh kasir. Enak sekali.

Adalagi penjual martabak yang sambil menggoreng martabaknya menggaruk-garuk belahan pantatnya dan menggunakan tangan yang sama tanpa sarung tangan plastik atau pelindung lainnya memegangi martabak yang selesai digoreng untuk dipotong-potong. Bagaimana perasaan pembelinya?

Pedagang gulali  di sekolah sekolah tahun tahun 70an sering membuat bentukan gulali berupa burung  Dan sebelum diserahkan kepada anak-anak sekolah yang memesanmya ditiup-tiupnya dahulu gulali tersebut untuk membuktikan bahwa gulali burung itu bisa berbunyi. Dan anak-anak dengan  polos serta riang gembira menerimanya dan meniup-niup gulali yang terpapar liur si pedagang.

Dalam tayangan banyak video, Tik Tok, Instagram, Facebook, Snack,  atau WA ada banyak hal serupa yang mengganggu  kehidupan kita. Ibu yang merendam celana dalam merah berbercak menstruasi kadalam panci baksonya agar laris. Pembuat cilok yang mengaduk tepung dengan kakinya. Pedagang baso yang mengaduk kuah baso dengan kaki. Pembuat tempe yang mencampur kedelai dengan kertas. Pembuatan telor ayam sintetis dari Cina. Pedagang beras yang mencampur berasnya dengan butiran plastik serupa beras. Pedagang gorengan yang mencampur minyak goreng dengan lilin agar gorengan tampak segar dalam waktu lama. Penjual daging yang menyelipkan daging babi diantara daging sapi yang dijualnya. Pegawai bank yang mengutil tabungan nasabah hingga kosong. Perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang mengutil kuota dari pelanggannya, serta membocorkan data pelanggannya. Dan tidak terhitung kegilaan lain tanpa batas yang terjadi dan mungkin sedang berjalan tapi belum terungkap.

Dalam kehidupan ini banyak terjadi hal serupa dalam tingkat dan intesitas yang berbeda.

Ulama merusak agamanya. Politisi merusak kepercayaan pendukungnya. Dokter-dokter merusak profesinya dengan berdagang obat. Hakim, Jaksa, Pengacara, Polisi, Ahli hukum, orang-orang yang dianggap tahu aturan, justru merusak hukum. Perusahaan-perusahaan besar menipu konsumennya dengan produk-produk berbahaya yang dibungkus iklan kemewahan dan artis-artis papan atas. Influencer menjerumuskan followers nya. Pemgumpul Zakat (Kasus ACT) menipu pembayar zakat.

Semua ini, terjadi mulai dari orang-orang yang berprofesi  yang dianggap remeh temeh sampai dengan posisi langit seperti Hakim Konstitusi, menghadapi masalah. Masalah TRUST, kepercayaan dan INTEGRITAS.

Ketika orang tidak lagi jujur dan berakhlak mulia dalam profesinya, apakah itu pedagang ayam atau hakim konstitusi, dia telah berbuat kerusakan. Dia telah berbuat kejahatan. Berbuat kezhaliman.

Korban-korbannya seringkali tidak bisa berbuat apa-apa, hanya tersenyum pahit, atau bergossip, di rumah-rumah, di warung-warung dan mentertawakan kesialan mereka. Tapi apakah betul mereka tidak berbuat apa-apa? Kita tahu, hati tidak berbohong. Mereka berdoa dalam hening, dalam sepi, dalam kekesalan, meminta pembalasan yang setimpal, bahkah yang dahsyat. Doa-doa orang yang terzhalimi. Dan kalimat yang mengatakan bahwa doa-doa orang terzhalimi dikabulkan doanya karena tidak batas antara Tuhan dan korban-korban ini,  menjadi punya makna yang semakin kuat.

Jika keluar atau masuk bus Trans Jakarta mungkin kita dengar berulang kali, "Hati-hati melangkah" kata-kata itu menjadi sangat bermakna, dalam hidup ini, hati-hatilah melangkah. Jangan sampai menginjak kaki orang. Kita tidak tahu, kapan pembalasan akan datang, seberapa dahsyatnya pembalasan itu akan menimpa kita. Tahu-tahu kita hanya bisa menangis, WHY ME? Ya Tuhan kenapa saya? Kenapa kau timpakan musibah ini kepadaku? Lalu hati nuraninya menjawab sendiri, bukankah itu akumulasi tabungan kejahatan mu selama ini? Terimalah dengan lapang dada. (KH)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun