Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bisnis Berbasis Nilai, Manusiawi?

6 Agustus 2018   20:23 Diperbarui: 7 Agustus 2018   16:04 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itulah mengapa, rekayasa dan manipulasi canggih bahkan dipersiapkan lewat sistem pendidikan dan politik agar manusia terus sadar pada kebutuhannya, terus merasa butuh sesuatu, dan terus berada dalam dinamika proses pemenuhan kebutuhan hidupnya itu. Begitulah promosi produk, iklan layanan, dan propaganda hidup sejahtera menjadi trinitas yang perlu terus dipuja.

Maka jika mau jujur, segala nilai di atas sebenarnya bersumber dari sebuah kodrat yang disepakati bersama bahwa manusia adalah makhluk yang pemenuhan kebutuhannya terpuaskan jika diperjumpakan dengan produk atau ketersediaan baik yang ada di alam maupun yang ada pada diri orang lain. Pendek kata, bisnis adalah relasi kebutuhan, dan pemenuhan kebutuhan diri adalah tujuan.

Merubah Asumsi

Di atas disebutkan bahwa dalam perjumpaa bisnis, produktifitas, efisiensi, hasil maksimal dari sumber minimal, kedisiplinan-keteraturan efektivitas, kemudahan akses dan teknologi, yang umum digaungkan sebagai sumber nilai itu memperlihatkan bahwa asumsi yang digunakan adalah manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya. 

Kepuasan diri seseorang hanya dapat dipenuhi dari sesuatu yang berasal dari orang lain. Singkatnya, orang lain adalah obyek untuk memenuhi kebutuhan diri.

Oleh karenanya kelaziman bisnis diukur dengan nilai kepuasan, keuntungan, dan terkumpulnya kapital pada diri. Sementara keadilan, kebahagiaan bersama, dan kejujuran diri sebagai manusia otentik ditempatkan tepat dibawah bayang-bayang kepentingan ukuran nilai itu.

Tak heran jika rekayasa sosial dan bahkan psikologi masa diarahkan pada kesadaran pemenuhan kebutuhan hidup itu. Kerja, perkawanan, transaksi, dan segala bentuk perjumpaan bisnis dengan demikian tak lain bertujuan akhir pada DIRI.

Sebenarnya ada asumsi kuno yang semakin hari semakin tergerus jaman dan nyaris musnah dalam peradaban manusia. Yaitu asumsi bahwa manusia berjumpa dengan manusia lain dan semesta adalah untuk berbagi. Hidup manusia yang terbaik adalah menjadi syukur dan persembahan utuh bagi sesama dan semesta alam.

Asumsi inilah yang dalam banyak teori agama dikembangkan sebagai paradigma ketulusan, kebaikan budi, dan cinta kasih. Oleh beberapa tradisi teori yang dikembangkan bahkan berbentuk upacara sakral. Makin besar persembahan diri manusia makin bermakna dan bermanfaat itu bagi orang lain, komunitas dan alam semesta.

Entah bagaimana prosesnya, etika dasar semacam ini sering hanya bergema agung dalam konsep dan dipahami sebagai keluhuran dalam kesadaran pikir dan bathin. Operasional implementasinya ternyata dengan otomatis tetap menggunakan asumsi bahwa manusia perlu memenuhi kebutuhannya yang bisa diperoleh dari orang lain dan alam ini. 

Ada semacam missing link antara kesadaran bathin dengan realitas bisnis. Bahwa manusia ingin berbagi namun sistem hanya menyediakan satu jalan bagi manusia untuk saling memanfaatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun