"Aku ingin berhaji sebelum usia 40."
Kalimat itu sering saya dengar dari banyak teman. Entah itu lewat obrolan WhatsApp alumni kampus, reuni keluarga, bahkan status galau di Instagram Story. Ibadah haji, selain sebagai rukun Islam kelima, juga telah menjadi simbol capaian spiritual dan finansial bagi banyak orang.
Namun, mari realistis: biaya haji tiap tahun naik, masa tunggu bisa belasan tahun, dan instrumen menabung tradisional kadang bikin kita kalah sama inflasi. Jadi, kapan kita bisa betul-betul berangkat?
Nah, saya ingin bercerita---bukan sebagai pakar keuangan, apalagi ustaz haji---tapi sebagai orang biasa yang sempat skeptis pada tabungan emas, sampai akhirnya paham bahwa menabung emas bukan cuma untuk cuan, tapi bisa jadi kendaraan menuju Tanah Suci.
Menabung Emas di Pegadaian: Bukan Sekadar Investasi
Beberapa bulan lalu, saya membaca tulisan Ramit Sethi di I Will Teach You to Be Rich. Ia bilang, "Orang sukses bukan yang penghasilannya besar, tapi yang bisa mendesain sistem keuangannya sendiri." Itu membuat saya berpikir: kalau tabungan biasa saya selalu kalah dengan inflasi, kenapa tidak mencoba logam mulia?
Saya pun membuka Tabungan Emas di Pegadaian. Modalnya bisa kecil, mulai dari Rp10.000 saja. Tapi yang lebih penting: saya mulai mencicil mimpi saya.
Tahun ini, saya baru tahu bahwa saldo tabungan emas di Pegadaian bisa digunakan untuk booking kursi haji. Ini bukan promosi kosong. Sistemnya jelas: kamu menabung emas, dan saat saldo setara dengan biaya pendaftaran haji (sekitar Rp25 juta), kamu bisa mengonversinya dan mendaftar langsung ke Kementerian Agama lewat Pegadaian Syariah.
Kok Bisa? Begini Simulasinya
Bayangkan kamu mulai menabung emas 3 tahun lalu dengan nominal Rp200 ribu per bulan. Dengan harga emas yang cenderung naik tiap tahun (data Bank Indonesia dan Pegadaian mencatat tren kenaikan 6--10% per tahun), hari ini kamu bisa punya tabungan emas setara Rp9--10 juta.