Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terkirim bersama Mawarmu

3 Agustus 2018   22:27 Diperbarui: 3 Agustus 2018   22:59 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Pixabay.com

Pukul empat sore saat kutiba di kota kecil itu. Kota yang senantiasa menerbitkan nostalgik yang berkejaran bersama waktu dan bayang-bayang tubuh renta sisa usia. Selalu ada magnet yang menarikku kuat-kuat untuk kembali di sini. Alasan yang tidak pernah dapat diterjemahkan oleh apapun, terlebih olehmu yang setia merawati pikiran dan perasaan kita.

"Sudah sebulan kamu tidak mengunjungiku. Kenapa?" sambutmu dengan pandangan tak enak dan nada suara penuh curiga. 

."Ada kesibukan sedikit. Aku harus menyelesaikan laporan penelitian. Maafkan,aku." kuusap tangannya yang juga mulai mengeriput, berharap dia memahami kesibukanku.

Lelaki kurus dengan rahang kuat dan sorot mata tajam itu mengambil kembali puntung rokoknya, lalu membakarnya  dan menghisapnya dalam-dalam, seakan tak ada lagi yang menandingi nikmat setiap kepulan asapnya. Kebiasaan yang tak pernah mati.

"Sampai kapan kamu akan berhenti berteman dengan puntung -puntung itu, Priema?"

"Sampai aku mati." datar dia menjawab dengan pandangan kosong ke halaman depan yang juga kosong.Hidupnya menjadi hampa sejak kepergian belahan jiwanya tercinta. Kalau dia sudah menjawab seperti itu, aku lebih memilih diam.

"Sudah tiga kali Sabtu aku duduk di sini menunggumu,Nina, tapi yang datang hanya Cahyadi, kakakmu." diraihnya tanganku sambil menghisap sekali lagi rokok itu. Aku tidak kuat menghirup asap rokok, saat kami berbicara. Kuambil saja sisanya yang terselip di antara jarinya. Kumatikan.

"Kamu masih marah sama aku,Nin?" pertanyaan yang sama yang sempat dilontarkan sebulan lalu saat aku pamit kembali ke kota tempatku bekerja.

"Marah? Untuk apa,Priema? Bukankah semua sudah kumaafkan? Lupakan saja." Aku berusaha tidak terpancing lagi oleh perselisihan yang meletup pada pertemuan terakhir sebulan lalu. Entahlah. Malas aku membayangkannya, apalagi membahasnya.

"Aku sudah datang, tidak usah lagi ungkit-ungkit itu,ya." ajakku sambil minum teh kental tanpa gula, kesukaanku. Sementara dia hanya berteman segelas air putih. Bagusnya dia bukan pecandu kopi. 

"Nin. dia datang lagi sesudah kamu pulang sore itu dan mendesakku untuk menceritakan ada hubungan apa aku sama dirimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun