Tepat hari ini 10 Oktober 2019 diperingati sebagai hari kesehatan mental dunia.
Berawal dari boomingnya efek film Joker terutama ulasan di berbagai media sosial, termasuk beberapa tulisan di kompasiana ini.Tentu kita menyambut baik  implikasi positif berupa meningkatnya awareness terhadap kesehatan.Â
Ini mengindikasikan sinyal positif makin banyaknya masyarakat yang peduli terhadap gangguan mental. Bahwa apa yang tidak kita alami bukan berarti tidak terjadi.
Sayangnya, hal ini juga memancing dampak negatif karena  tidak sedikit yang membaca ulasan mengenai awareness mengenai kesehatan jiwa ini melakukan  self diagnosis, hanya dengan membaca sedikit ulasan, cocoklogi dengan gejala-gejala yang diterangkan atau hanya membaca selintas infografik.Â
Tidak sedikit pula kita baca komentator merasakan diri juga "korban" efek joker ini dan meyakinin bahwa film ini telah menjadi pemicu penyadarab bahwa punya sedikit "gangguan" mental, lalu melakukan labelling orang lain atau diri sendiri.
Ini pun terjadi saat kampanye awareness kesehatan mental yang dilakukan oleh kementrian kesehatan.
Agar tidak terlalu lancar kelirunya, sehingga langkah lanjutannya jika diperlukan dapat lebih tepat dan tentu diserahkan ke masing-masing personal.
Tujuan kegiatan ini minimal penyadaran kepada kita untuk tidak coba-coba self diagnose karena tidak jarang hanya gara-gara mengikuti  kuis online, baca buku tentang pengalaman para survivor mental ilness lalu ngerasa kayaknya "aku terkena gangguan jiwa nih, bahkan berani menyebut mengidap bipolar, dsb. Mencap diri sendiri memiliki gejala gangguan mental tanpa pemeriksaan ahli.
Untuk itu, Kompal bekerja sama dengan Biro Psikologi Lentera Jiwa Palembang mengadakan diskusi mengenai kesehatan mental secara online (Kulwapp) dengan Tema, "Adakah Joker dalam Diri saya?"
Sebagai narasumber dalam diskusi ini Diana Putri Ariani, S.Psi,M.Psi, kanselor psikologi klinis.