Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Jie Ba Yishi, Makna Titik-titik di Kepala Biksu

23 Agustus 2023   07:32 Diperbarui: 23 Agustus 2023   08:12 2599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa saja ciri khas seorang biksu Buddha?

Dari jubahnya terntunya. Setiap sekte punya cara tersendiri untuk menerjemahkannya, sesuai dengan filsafat dan keyakinan masing-masing. Jubah berwarna coklat dalam mazhab Theravada misalkan. Memiliki arti kesederhanaan, menjauhi perhatian alias tidak menyolok. Selain itu disebut juga sebagai lambang keheningan yang mendukung semangat besar dalam praktik spiritual.

Ciri khas kedua adalah kepala plontos tentunya. Itu memiliki makna penyucian diri. Menjauhi urusan duniawi, simbol perjalanan spiritual. Tidak memiliki rambut juga dianggap sebagai menghilangkan keterikatan, kemelekatan, sekaligus penghormatan terhadap kesederhanaan.

Lalu, yang ketiga apa ya? Mungkin ada yang bilang jika biksu memiliki enam atau Sembilan titik di atas kepalanya. Setidaknya ini yang populer melalui film-film Kungfu Shaolin.

Nyatanya, tidak semua biksu memiliki ciri khas ini. Itu karena tradisi tersebut hanya dipraktikkan oleh sekte Mahayana, mazhab buddhisme yang berkembang pesat di China dan Asia Timur (Jepang dan Korea).

Meskipun demikian, tidak semua biksu Mahayana mempraktikkannya. Setidaknya saya belum pernah melihat biksu Mahayana di Indonesia yang memiliki tanda tersebut. (Entah kalau ada).

Tradisi ini disebut dengan Jie Ba Yishi. Secara harafiah artinya adalah "tanda penerimaan sila." Alias sumpah sebagai seorang Biksu untuk menjaga praktik moralitas.  

Yang pasti, tanda tersebut tidak muncul begitu saja. Tradisi ini terkait dengan sejarah yang panjang dan juga makna filosofis di belakangnya.

Moskibusi

Perlu diketahui, para biksu membuat tanda tersebut dengan menggunakan dupa yang menyala lalu ditindik ke kepala. Bagi orang Tionghoa kuno, teknik ini sebenarnya tidak asing. Mirip dengan sistem pengobatan tradisional China. Sesuatu yang disebut dengan Moksibusi (Moxisbustion).

Jadi, ada tanaman obat yang bernama Moxa (mugwort). Para tabib kuno akan menyimpan tanaman ini dalam jangka waktu lama. Tidak dijelaskan berapa lama.

gambar tanaman Moxa (gambar: istockphoto.com)
gambar tanaman Moxa (gambar: istockphoto.com)

Setelah dianggap "matang," tanaman ini lalu digiling halus dan dilinting. Cara pengobatannya adalah dengan membakar lintingan tersebut dan dibakar di atas kulit pasien. Tujuannya agar chi (energi) pada titik penting tubuh manusia dapat mengalir lancar.

Tradisi dari China

Biksu dari Barat (India) yang pertama kali menyebarkan buddhisme di daerah Tiongkok tidak membawa serta tradisi ini. Konon "aturan main" ini dimulai oleh seorang biksu dari Dinasti Yuan (1271-1368). Saat itu ia melakukannya sebagai bentuk keteguhan hati atas penerimaan Buddha Dharma.

Tapi, ada juga yang bilang jika tradisi ini populer justru pada saat buddhisme sedang mengalami kemerosotan di China. Kala itu, banyak oknum-oknum yang berkeliaran dengan jubah biksu. Tujuannya macam-macam. Bisa untuk aksi kriminal biasa, bisa juga sebagai bentuk penyamaran para pemberontak.

Dinasti Yuan yang dikuasai oleh orang Mongol pun memberlakukan hal ini untuk membedakan biksu dari "kalangan sendiri" dan biksu palsu.

Penganut Buddhis Fanatik

Ada juga versi lainnya. Konon tradisi ini sudah ada jauh sebelum Dinasti Yuan terbentuk. Tepatnya dari zaman Dinasti Liang, era Dinasti Selatan. (502-507). Saat itu kaisar Liang Wu dikenal sebagai seorang Buddhis fanatik. Ia berkali-kali ingin menjadi biksu. Namun, posisinya sebagai kaisar tidak memungkinkan.

Sebagai gantinya, ia lalu menjalankan buddhisme sesuai kapasitasnya sebagai raja. Salah satunya adalah dengan meberlakukan amnesti bagi narapidana yang bertobat dan ingin menjadi biksu. Nah, untuk mencegah agar mereka tidak melarikan diri setelah menerima kemurahan hati Kaisar, maka bekas dupa pun harus berada di kepala mereka.

Pemerintah Komunis China sempat melarang praktik ini. Meskipun aturannya kembali dicabut pada 2007 silam.

Filosofi

Belakangan, hal ini pun berkembang menjadi ciri khas biksu Mahayana. Terlepas dari adanya tuduhan bahwa praktik ini merupakan asketisme (cara ekstrim penyucian diri), tapi, makna filsafat dari penganutnya tidak bisa diabaikan.

Sebagai informasi, penandaan dupa di kepala ini konon terdiri dari beberapa tahap. Tiga untuk pemula, enam untuk yang lebih senior, dan sembilan untuk yang paling senior.

Tiga identik dengan konsep Tri-Ratana alias tiga permata yang terdiri dari Buddha, Dhamma (ajaran Buddha), dan Sangha (Biksu Buddha). Tiga Permata ini dianggap sebagai bentuk kesucian bagi umat Buddha, dan sekaligus perlindungan tertinggi oleh Sang Buddha.

Lalu, konon tambahan tiga lagi (sehingga menjadi enam) berhubungan dengan praktik spiritual yang disarankan kepada umat Buddha. Yakni, Sila, Samaddhi, dan Panna. Artinya adalah menjaga moralitas, mengembangkan pikiran baik, (meditasi), dan mempraktikkan kebijaksanaan.

Bagaimana dengan tambahan tiga lagi untuk para biksu yang lebih senior?

Saya tidak menemukan referensinya. Bisa saja hanya sekadar penanda level senioritas. Bisa juga merupakan bentuk keteguhan hati yang lebih tinggi. Entahlah.

Akan tetapi, filsafat bisa berarti apa saja bukan? Saya sih sebenarnya penasaran. Belum menemukan bisku praktisi tradisi Jie Ba Yishi ini. Jika ada, pasti saya akan menanyakannya.

Pada akhirnya, level spiritual, tingkat penyucian diri, atau apapun namanya tidaklah berasal dari tampilan luar. Tapi, berada jauh di dalam batin.

Semoga semua makhluk berbahagia.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun