Maka tak jarang ketika Lina memang tidak punya uang, dirinya merasa bahwa penderitaannya semakin menjadi karena tidak dapat mengakses hal yang sama dengan temannya menganggap hidup tidak adil untuk dirinya bermula karena dirinya tertinggal eksis kekinian dengan trand terbaru untuk dipamerkan di medsos.
Berkaca pada kasus Lina Maisaroh, mungkinkah sebegitu kuatnya media sosial mempenaruhi psikologis manusia abad ini? Apakah memang sisi manusia itu sendiri yang tidak mampu beradaptasi dengan lompatan teknologi bermedia sosial?
Secara naluri memang siapa manusia yang tidak mau hidupnya dipuji dan dipuja oleh orang lain? Saya kira semua orang pada tingkatan tertentu menginginkannya. Maka dari itu ada istilah bawasanya manusia tidak boleh hanyut dalam pujian. Untuk itu pujian sepantasnya oleh manusia disikapi secara sederhana.
Memang jika kita semua lebih jernih berpikir, media sosial memang penting tetapi jika itu dimaknai dengan cara destruktif tentu akan merugikan penggunanya sendiri. Begitu juga istilah baru yang terus dipakai di media sosial, trend dan sebagaianya yang viral.
Pada dasarnya glowing-glowingan di media sosial hanya untuk bergaya saja tetap tidak ada gunanya. Berbeda ketika kita bermedsos menampilkan sebuah hal aktual yang positif dan banyak menginspirasi orang lain untuk kebermanfaatan hidup, disitulah sisi dari nilai positif media sosial dapat manusia itu dapat di raih.
Namun kembali akan hal positif maupuan negative, semua merupakan tingkatan dari bagaimana cara manusia itu sendiri dalam menafsir. Rasanya semesta berpikir manusia itu adalah tanda dimana dirinya berada dalam tingkatan hidup saat ini.
Saya rasa dunia nyata dan dunia maya tidak ada bedanya, semua adalah sarana bagaimana manusia merefleksikan dirinya sendiri demi kebutuhan utama manusia menjadi manusia yakni sebuah eksistensi.