Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Praktik "Ikhlas", hanya Sebuah Fiksi?

7 Juli 2020   16:28 Diperbarui: 16 Juli 2020   19:35 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

Tidak ada hari yang asyik untuk dinikmati dikala alam fiksi dari pikirian ini begitu rumit. Andai saja manusia hidup tidak bersama dengan pikiranya, mungkin saya adalah orang yang paling bisa berjanji untuk selalu ikhlas dalam melakukan sesuatu bagi orang lain dalam misi suatu gerak hidup dalam kebersamaan.

Tetapi apakah keihklasan yang digembor-gemborkan pada suatu keilmuan itu benar-benar ada? Atau hanya alam pikir yang memenuhi optimisme orang-orang yang sedang ada dalam pergerakan saja? Mungkinkah ihklas hanya hayal, dimana ikhlas sendiri merupakan hasil itu sendiri, yang menjadi ikhlas ketika ada dampak yang dirasa oleh manusia untuk kehidupannya?

Kesangsian seperti telah menjadi sebab dari adanyanya sebuah penistaan yang secara kasat mata jelas dapat dirasa dari adanya misi suci yakni rasa ikhlas itu sendiri. 

Bawasannya segala sesuatu yang berbentuk alat, ia haruslah digunakan, kemudian dirawat, dan dilayani sebaik mungkin agar alat itu dapat terus digunakan memberi efek yang baik terhadap penggunannya.

Dari sanalah manusia harus mengetahui bawasannya peran penting sebuah keikhlasan ada pada rasa setiap orang untuk saling menghargai dan saling merasa bahwa segenap perjuangan hidup jika mempunyai tujuan yang sama, rasa toleran, saling menjaga satu sama lain, dan menikmati hasil secara berkelanjutan harus benar-benar ada dalam pemikiran setiap manusia dilaksanakan juga bersama-sama.

Tetapi faktor milik atau faktor manusia merasa selalu kurang dan egoismenya sendiri bahwa dirinya yang paling baik, paling lelah, dan paling berpengaruh, kemudian serakah tanpa merasa yang lain juga wajib menerima haknya dari hasil kerja kerasnya bersama, itulah yang menjadi dasar orang lain tidak mau sama-sama ikhlas melakukannya.

Kata "ikhlas" selama manusia masih menggunakan pikiranya, tidak mungkin keikhalasan itu ada seperti kemurniaan tanpa berpikir. Jelas disini bawasannya menjadi ikhlas itu sendiri adalah kemampuan untuk menghentikan pikiran, bagaimana menanggapi sesuatu tidak dihitung antar untung dan rugi seorang manusia dalam menuai hasil yang dilakukan sebagai bentuk usahanya.

Karena selama pikiran itu diaktifkan, ia akan terus memilih mana yang paling baik untuk dirinya dan mana yang akan membuat dirinya hanya akan merasakan sengsara.

Oleh sebab itu pikiran jika selamanya dibuat untuk berpikir, ia akan tahu mana-mana sisi yang sebelumnya tidak tersadari, menambal apa yang kurang menjadi lebih, buruk menjadi baik, serta teledor menjadi waspada.

Manusia bukan dewa, manusia hanya akan menjadi manusia saja tidak akan pernah lebih dari itu, kenyataannya juga memang tidak pernah seperti itu. Namun dalam berpikiran, fiksi pikiran manusia selalu melampaui dewa. Inilah yang terkadang sisi dari menjadi manusia itu selalu saja terbentur ranah yang sempurna dibalik adanya ketidak sempurnaan dari dirinya dan orang lain yang ada disekitarnya.

Maka yang menjadi sandungan penting dalam mempunyai sikap "ikhlas" itu sendiri adalah persepsi yang dibuat oleh pikirannya sendiri. Tetapi mengapa pemikiran itu tumbuh membuat suatu persepsi tersebut? Tidak lain muara dari tumbuhnya suatu persepsi dari satu manusia itu adalah bagaimana manusia lain juga menerapkan segala persepsinya masing-masing yakni; antara bisa dan tidak bisa, kemudian menjadi kenyataan atau tidak dalam melakukan: "apa yang mereka sedang lakukan bentuk dari usahanya masing-masing".

Apa yang saya sendiri sangka dari sebuah ilmu ikhlas--- dasar dari ketidak iklasan manusia merupakan bentuk suatu kecemburuan satu manusia dengan manusia lainnya. 

Mengapa demikian terlihat jelas dari rasa kecemburuan? Adalah dampak apa-apa yang mereka terima ketika sama-sama melakukan sesuatu secara bersama-sama, tetapi dampak yang dirasakan berbeda antara satu dengan lainnya.

Perkara keikhlasan adalah perkara keadilan yang harus dirasakan setimpal dengan perjuangannya masing-masing. Jangan ketika sama-sama berjuang tetapi memanfaatkan perjuangan tersebut hanya untuk kepentingannya sendiri, mencari segenap untung dengan mengorbankan orang lain yang sama-sama telah berjuang.

Ketika jalannya sebuah perjuangan bersama sendiri pincang, tidak mungkin apa yang dinamakan ikhlas untuk waktu yang lama mengusahakan sesuatu tanpa hasil akan terus dilakukan oleh setiap manusia.

Memang hidup adalah perjuangan tetapi apakah tidak menjadi penting ketika manusia sendiri tidak menentukan dalam setiap afirmasinya dalam segenap usahanya? Kapan saatnya berjuang dan kapan saatnya menikmati hasil dari setiap perjuangan yang telah mereka lakukan?

Tanpa hasil yang dapat dirasa dari sebuah perjuangan bersama, bahkan janji-janji tetapi tidak tahu kapan "janji" tersebut akan terealisasi sebagai sebuah pengharapan, hanya menjadi wacana nanti: "ini waktunya berjuang namun tidak menentukan waktu dalam perjuangan menikmati hasil perjuangan" itu akan sama saja tidak akan membuat manusia ikhlas tergerak.

Manusia hidup butuh sesuatu yang dapat mengakomodasi hidup seperti hasil dari usaha untuk kemudahan hidup tetapi tidak ada--- tidak akan pernah manusia itu akan bela sampai kapanpun walaupun dirinya mengerti apa artinya "ikhlas" berbuat sesuatu sebagai nilai untuk hidup dalam kebersamaan.

Terus terang untuk menjadi "ihklas" tidak mendapat apa-apa dalam memperjuangkan sesuatu untuk bersama dengan waktu yang lama saya memang belum mampu. Mungkin sesekali sebagai bakti sosial tanpa terikat dan suka rela membantu itu bukan soal, itu pun jika memang apa yang telah dibantu sebagai usaha non profit, tetapi ketika ada "profit" umpan balik adalah sesuatu yang harus dipikirkan sebagai keberlangsungan perjuangan manusia.

Kecuali memang melakukan sesuatu itu sebagai sebuah hoby dan kebanggaan akan karya yang dibuatnya sendiri, saya kira setiap orang akan mampu untuk melakukan itu secara tarus-menerus, itupun ketika kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, aktivitas tersebut pasti hanya sesekali dilakukan karena bagaimapun hidup lebih penting melakukan sesuatu "kerja" untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Untuk itu dalam realita, Ikhlas hanya sebuah fiksi, tidak mungkin ada kata "ikhlas" jikalau manusia memang masih hidup didunia dengan mudah akan ia lakukan sebagai perjuangan dan tidak menjadi pertanyaan dalam pikirannya kapan hasil dari perjuangan itu akan dirasakan.

Bahkan seorang aktivis politik, ataupun gerakan-gerakan kemanusiaan, yang didalam wacana narasinya membela rakyat, didalam pikiranya dan hatinya pasti membidik posisi kuasa dalam sosial-kemasyarakatan. Terkecuali pertapa yang sudah tidak bersentuhan dengan dunia, tidak akan ada manusia yang mampu benar-benar "Ikhlas".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun