Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kerja di Luar Negeri Masih Menjadi Solusi?

10 Januari 2020   20:30 Diperbarui: 13 Januari 2020   16:52 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dennylorenta.wordpress.com

"Manusia memang tidak dapat menentukan. Tetapi manusia masih dapat memilih sebagai diri untuk apa ia menjalani hidupnya. Maka, pilihlah satu titik dimana kamu  percaya akan "bahagia" menjalaninya, yakin dan percayalah pada dirimu sendiri!"

Seperti yang terundung di dalam gelap di ballik lebatnya hujan sore ini. ia "Budi" bukan saja terus meretapi dirinya sendiri di kala hujan itu datang. Merenungi diri seperti ritus bagi Budi, ia bukan tidak mau seperti mereka, yang melakukan ritual-ritual untuk ketenangan hidup lebih umum, dan dilakukan sebagai sarana ketenangan dalam batin masing-masing manusia.

Tetapi tau-kah, apakah memang manusia harus merendah sampai titik rendah itu supaya ia terobati sebagai mahkluk yang bernafsu, lalu terkadang buas seperti Singa, kemudian banal bagai Ular-ular itu yang tidak terlihat namun di kala banjir datang, ia seperti manusia yang kepanikan mencari tempat menyelamatkan diri?

Apakah kehidupan ini, "benar" Ia tidak teruntut geneologinya oleh nafsu-nafsunya sendiri sebagai manusia? Atau dengan bagaimana manusia harus berlaku dalam hidup, mungkinkah "benar" nafsu itu sesuatu yang harus dihindari manusia?

Inilah yang terkadang dalam diam itu diratapi oleh Budi. Tentang masa depan anakanya, juga masa depan dirinya yang terkadang dibuat rancu oleh realitas. 

Tetapi apakah realitas itu tidak perlu dibuktikan dengan realitas pula pada akhirnya? Yang sama-sama berlaku dalam kerancuan abadi  kehidupan di dunia ini?

Sesuatu itu, sudah terpahami dengan baik oleh budi, dibalik ia harus memenuhi kebutuhan badannya, ia juga harus memenuhi kebutuhan inginnya yang terkadang menjadi manusia, mereka juga melihat manusia lain untuk hidup. 

Kemudahan akan bagaimana seseorang yang punya banyak uang, mereka tidak bingung untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, apa-apa menjadi mudah, bahkan didalam hujan sekalipun ia masih dapat berteduh di mobil melanjutkan perjalanan untuk sampai ke tujuan mereka.

Namun dengan gaji yang terbatas cenderung minim di dalam negeri sendiri, ini bukan saja merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, tetapi menjadi pertanyaan, apakah masih "zaman" relevansinya mencari kaya di lorong-lorong goa dan gunung-gunung sakral disana, ketika untuk menjadi sejahtera didalam negeri sendiri masih banyak syaratnya?

Kehidupan modern bukan saja menuntut manusia untuk saling curiga, bukan kepada orang-orang yang masih percaya akan hal mistik tersebut, tetapi curiga pada pikirannya sendiri, apakah benar untuk kaya secara instan harus begitu caranya? 

Melakukan ritual-ritual yang sungguh sangat absrud itu sebagai bagian dari kehidupan berperadaban manusia diabad yang ke-21 ini?

Abad ke 21, bukan saja akan melahirkan manusia-manusia rasional, tetapi juga manusia-manusia yang penuh dengan hitung-hitungan akan nilai tersebut. 

Semua serba dihitung seperti rumus matematika yang telah mereka pelajari bertahun-tahun didalam sekolahnya, yang berbayar mahal dan katanya gratis tetap saja cetakan buku itu tidak akan pernah gratis.

Kini menjadi percuma saja, sekolah yang dahulu menjadi pioner manusia untuk pintar, karena bukan saja pintar secara pengetahuan, tetapi pintar secara hitung-hitungan, bagaimana jika kebutuhan itu terus dihitung-hitung supaya menjadi manusia sejahtera?

Entahlah semua ini hanya menjadi pertanyaan bagi Budi sendiri. Mengapa jumlah uang antara didalam negeri dan diluar negeri begitu sangat jauh berbeda sebagai nilai tukar? 

Padahal bukankah uang tetap sama saja uang? 

Tetapi sudahlah, pada intinya bekerja keluar negeri adalah solusi paling rasional abad ini, untuk meraih potensi sejahtera itu tanpa syarat yang berat, menjadi mistikus dalam goa atau gunung, juga bersaing dengan jutaan orang didalam negeri untuk "bekerja" supaya bisa sejahtera.

Budi nekad ke luar negeri meninggalkan anak istri

Budaya dalam negeri sendiri memang siapa yang tidak pernah bilang itu tidak gelamor? Mungkin karena telah membudaya, keglamoran yang tertutupi sebagai yang katanya budaya tersebut menjadi sangat bias. Namun apakah dalam pelaksanaanya sendiri tidak terasa didalam batin dan pikiran manusia?

Dangdut dalam pesta hajatan yang harus digelar, atau dengan kambing-kambing jantan itu yang harus terbeli, lalu dipotong untuk kebutuhan ritual meng-akekahkan seorang anak yang lahir, mungkinkah semua itu bukan beban berat yang harus dirasakan manusia oleh budayanya sendiri dalam membeli?

Dalam kebudayaan selalu ada filosofi bagaimana budaya itu harus dilahirkan oleh leluhur, tentu filosofi itu bukanlah sesuatu yang rumit dan memberatkan manusia. 

Tetapi terkadang menjadi manusia. Justru filosofi dari budaya itu yang sejatinya untuk manusia memanusiakan manusia dengan kelahiran seorang anak yang harus diterima sebagai manusia, atau dengan syukuran pernikahan: yang menikah bagi manusia memang harus termanusiakan untuk orang lain juga mengetahuinya bahwa; mereka sah menjalin hubungan suami istri adalah  tujuannya.

Kembali yang namanya manusia dengan ia juga memandang orang lain pada akhirnya. Budaya yang seharusnya hanya menjadi sarana, justru ia dijadikan sebuah ajang kompetisi untuk tanda, ia lebih makmur dari yang lain. 

Sebab ia dapat membuat pesta yang besar untuk anaknya, ia dapat menyembelihkan kambing banyak untuk anaknya pula.

Terkadang dengan banyaknya orang yang mampu di sana, timbulah orang yang mampu membuat orang yang tidak mampu ikut memampu-mampukan dirinya. 

Banyak problem sosial baru untuk hajatan, atau akekah anaknya saja harus berhutang lebih dahulu, padahal pendapatan akan Rupiah dari gaji bulanannya sendiri saja begitu minim, bahkan cenderung cukup saja untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Tidak ada kata untuk memilih yang lain. Kehidupan diabad ke-21 ini, semua orang mengutamakan mode dalam hidup. 

Tetapi ya memang tidak semua, banyak juga orang-orang yang sadar mengukur dirinya, tetapi tentang ilusi manusia melihat manusia lainnya, apakah kesadaran bukan untuk sama-sama bernasib sama dengannya yang mapan juga memandang apa saja kebutuhan hidupnya?

Budi yang melihat potensi itu, sudah tidak mungkin di abad milenium ini percaya pada mistik. Tidak mungkin juga karena memang sudah dibuktikan sendiri olehnya kerjanya didalam negeri, Budi juga akan sejahtera memandang kehidupannya di masa depan kelak.

"Bekerja di dalam negeri tidak ubahnya hanya menjadi manusia yang sama memenuhi "berkebutuhan" juga pada akhirnya, tetapi gali lobang dan tutup lobang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri".

Cerita tetangga Budi yang pulang dari luar negeri, atau ia masih diluar negeri dapat membeli tanah orang yang sedang membutuhkan uang menjual tanahnya untuk kebutuhan hidupnya, mungkinkah dengan berbagai kemudahan membeli apa yang akan dibeli jika bergaji tinggi di luar negeri, tidak akan menggiurkan hati setiap manusia yang masih bekerja didalam negeri?

Keluarga harapan merupakan konsep keluarga yang diharapkan akan sejahtera. Anaknya yang butuh sekolah lebih layak di masa depan, istrinya yang butuh kondangan saat tetangga hajatan karena budaya dalam negeri sendiri setiap hajatan berharap disantuni dengan uang.

Dalam lamunannya didalam diamnya saat sedang sendiri, kerja bergaji tinggi tanpa syarat membebani dan cenderung lebih mudah dari pada didalam negeri, Budi ingin bertekad, ia akan terus bertekad demi keluarga. 

Kerja keluar negeri dengan gaji yang tinggi karena kebutuhan sudah banyak membebani merupakan sebuah solusi. 

Menjadi kaya mendadak asal di sana dapat hidup prihatin, lalu dapat mentransfer uang dalam jumlah banyak setiap bulannya kepada keluarganya, itulah kerja yang terbaik; karena di manapun dan bagaimanapun bentuk kerja manusia adalah yang dapat mencukupi, juga yang dapat memanusiakan manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya .

Tetapi peradaban, memang ia tidak akan berpihak pada manusia yang secara garis besar tanpa modal. Untuk menjadi kaya memang harus bermodal, seperti dalam cerita mistik yang biasa ditayangkan televisi berbentuk di sinetron atau film. 

Perkara pesugihan di dalam goa atau gunung yang sakral, ia pun harus bermodal dalam tumbal, meskipun itu adalah anaknya sendiri yang sangat berharaga mengadopsi narasi cerita sinetron dan film-film.

Maka dengan bekerja di luar negeri yang jauh dari anak dan istri, sepertinya Budi juga harus menjadi tumbal dari kesejaheraan itu demi anak dan istrinya. 

Asal masih dapat menjadikan keluarga sejahtera, apapun termasuk dirinya sendiri beserta modal yang keluar banyak akan tetap dilakukannya, sebagai solusi menjadi manusia sejahtera. 

Tidak ada kata sejahtera tanpa tumbal juga harus dengan modal, itu sesuatu yang harus dilakukan diabad yang ke-21 ini, dari bermodal untuk menarik modal!

Sepertinya memang benar, manusia harus percaya pada dirinya sendiri untuk menang memandang zaman, bukan saja menang atas kehidupannya sendiri, tetapi dengan "menang" terhadap kata sejahtera yang harus mereka cari sendiri. 

Kalau memang bukan dari dan untuk dirinya sendiri, untuk siapa lagi? Manusia memang harus percaya pada dirinya sendiri memandang setiap perubahan yang mungkin dapat diwujudkan oleh kekuatan dan kemauannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun