Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Selamet" Sebagai Sebuah Perjalanan

23 Juli 2019   20:50 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:13 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butuh masa penyembuhan yang panjang. Selamet ingat ia tidak masuk sekolah hampir satu semester. Ia masih ingat waktu raport semester pertama ia terima dengan hasil nilai rengkingnnya. Seperti biasa, tidak mengecewakan! Hanya saja bukanlah juara pertama. Kalau tidak salah ranking emapat atau lima, tetapi itu sudah cukup memuaskan.

Sakit memang membawanya ketinggalan banyak pelajaran sekolah. Untung saja guru kelasnya mau berbaik hati dengan tetap menaikan kelas ke kelas lima. 

Alasanya Selamet merupakan anak yang pintar, tetapi pintar sebagai sesuatu yang terbangun. Bukan tidak mungkin asal mau dan mencintai setiap pembelajaran yang ada, menjadi pintar adalah mungkin dan pasti terealisasi. Pintar adalah bakat, tetapi ketika tidak diasah, bakat menjadi pintar merupakan sesuatu yang ilusi "ada namun tidak nyata".

Kehidupan pasca sakit memang sangat membuat perubahan drastic bagi "Selamet". Waktu yang lama bersama karantina tubuh yang sakit membuat "Selamet" lemah tidak berdaya. 

Seperti bayi yang terlahir kembali itulah keadaan pasca sakit. Mungkin karena lamanya waktu sakit, kuranngya asupan makanan, dan sebagainya yang membuat tubuhnya lemah.

Badan Selamet waktu sakit sangatlah kurus, bahkan bisa dikatakan tinggal tulangnya saja. Dagingnya habis sebagai energy bertahan hidupnya. Lidahnya seperti menebal karena tidak pernah digunakan untuk merasakan makanan. 

Pada waktu sakit, "Selamet" tidak bisa bicara, tidak bisa pula berjalan, bagaimana penggambaran seorang bayi itulah "Selamet" sewaktu sakit. Mungkin karena waktu sakit yang terlampaui lama membuat dia seperti mayat hidup yang hanya tertinggal rohnya saja di dalam tubuhnya.

Dengan bertambahnya waktu dan penyembuhan yang terus dilakukan oleh para tabib, Selamet-pun menunjukan kondisi semakin baiknya kondisi kesehatannya. 

Secara perlahan ia mulai sadar, mengingat setiap kejadian dengan lebih baik, namun dia hanya bisa menyimak. Ada keterbatasan untuk berinteraksi karena tidak bisanya mulut untuk berbicara.

Ia bisa mengingat ritual apa yang dilakukan orang tuanya atas rujukan dari sang Tabib itu sendiri. Dari sekian banyak Tabib, hanya satu yang di ingatnya yaitu Tabib dengan profesi ganda itu yang rumahnya masih satu kampung dengannya. Berbagai macam cara orang tua "Selamet" lakukan demi keselamatan anaknya.

Memang ketika medis sudah tidak mampu dalam menangani, penyembuhan secara spiritual sangat dibutuhkan. Dari mengelilingi rumah dengan menyirami garam, nyekar ke makam-makam leluhur dan ritual-ritual yang tidak masuk akal material lainnya. Tetapi ketika manusia masuk dalam ranah spiritual, akal memang haruslah diletakan. Tidak akan bisa bertemu antara nalar material-isme dan spiritual-isme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun