Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Buddhism and Atheism

9 Oktober 2011   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:10 992 2
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti. Argumen psikologis dan sosiologis Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercaya an keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis. Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya." Argumen logis dan berdasarkan bukti Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan. Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha. Agama Buddha itu Atheis! Klaim yang ini tergolong jarang didengar tapi sangat populer di kalangan kaum terpelajar terutama di bidang debat lintas-agama. Kenyataan memang menunjukkan bahwa ajaran sang Buddha seakan-akan alpa akan konsep Tuhan, dan terus menekankan bahwa pencerahan adalah usaha dari manusia sendiri untuk membebaskan dirinya lewat praktek pengembangan pikiran dan moralitas. Lalu sesungguhnya, apakah benar agama Buddha itu atheis? Dalam buku Buddhism for Dummies, ditulis bahwa orang-orang melihat bahwa kata Tuhan (karena kata ini yang paling umum dipakai) sama sekali absen dalam ajaran agama Buddha sehingga mereka dengan setengah bercanda menjulukinya sebagai agama yang bagus buat kaum atheis. Apakah benar Buddhisme itu atheis atau bukan, silahkan anda renungkan sendiri. Wahai para bhikkhu, ada yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, dan tidak dibentuk. Wahai para bhikkhu, seandainya saja tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, dan tidak dibentuk, maka tidak ada jalan keluar yang dapat dilihat dari apa yang dilahirkan, dijelmakan, diciptakan, dan dibentuk. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, dan tidak dibentuk, maka dapat dilihat suatu jalan keluar dari apa yang dilahirkan, dijelmakan, diciptakan, dan dibentuk. Yang dilahirkan, dijelmakan, dihasilkan Yang diciptakan, dibentuk, yang tidak kekal Yang bersatu dengan kelapukan dan kematian Sarang bagi penyakit, dapat hancur Yang muncul dari makanan dan tali nafsu- itu tidak sesuai untuk dijadikan kegembiraan Jalan keluar dari itu, yang damai Berada di luar penalaran, kekal, Yang tidak dilahirkan, tidak dihasilkan Keadaan tanpa duka yang bebas dari noda Berhentinya segala keadaan yang menyengsarakan, berhentinya segala yang berkondisi-Sukacita (Ittivuttakka 2:43) Bait di atas adalah pondasi konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Pertanyaan berikutnya yang mengikuti adalah, jika umat Buddha mengakui keberadaan Tuhan, mengapa mereka tidak lebih sering menyebutkannya? Pokok Sentral ajaran agama Buddha adalah mengenai apa itu penderitaan, sebab-sebab penderitaan, dan bagaimana cara mengakhiri penderitaan. Konsep mengenai Tuhan, tidak memiliki signifikansi penting karena yang ditekankan adalah usaha manusia dalam mengakhiri penderitaan itu, bukan melalui upaya penyelamatan oleh kuasa supernatural atau mukjizat. Dalam hal ini Buddhisme juga bukanlah sekedar seperangkat sistem kepercayaan, doktrin, atau ritual, karena Buddhisme menuntut sikap skeptis terhadap ajaran apapun yang disodorkan, sekalipun itu berasal dari Buddha sendiri. Sang Buddha sendiri berkata: Jangan menerima segala hal yang saya ucapkan sebagai kebenaran hanya karena saya telah mengucapkannya. Tetapi, selidiki dan buktikanlah itu seperti kamu mengetes apakah sebuah bongkahan emas itu murni atau tidak. Jika, setelah menyelidiki ajaran-ajaranku, kamu menemukan bahwa mereka benar, praktekkan mereka. Tetapi jangan melakukannya hanya karena kamu ingin menghormati saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun