Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Review Antropologi Agama

18 Desember 2023   17:21 Diperbarui: 18 Desember 2023   18:52 49 1
(1) Materi: Dr. Rismawati, S.Sos,. MA.
Dalam konteks Antropologi Agama, fokusnya adalah pada manusia dan hubungannya dengan aspek agama, termasuk pikiran, sikap, dan perilaku, bukan pada kebenaran ideologis berdasarkan keyakinan agama. Penelitian ini menitikberatkan pada kenyataan empiris yang terlihat. Ada beberapa metode yang digunakan dalam analisis antropologi religi:

1. Metode Historis
Metode ini bersifat sejarah, melacak perkembangan budaya agama dari masa manusia yang sederhana hingga budaya agama yang maju.

2. Metode Normatif
Memfokuskan pada studi norma-norma, kaidah-kaidah, patokan, sastra suci, perilaku, dan kebiasaan tradisional dalam hubungan manusia dengan alam gaib serta antar manusia berdasarkan ajaran agama.

3. Metode Deskriptif
Berusaha mencatat, melukiskan, dan melaporkan pikiran, sikap, tindakan, dan perilaku manusia terkait agama dalam konteks yang implisit, termasuk kaidah-kaidah ajaran agama yang eksplisit.

4. Metode Empiris
Memfokuskan pada pemahaman pikiran, sikap, dan perilaku agama manusia yang ditemukan melalui pengalaman dan kenyataan di lapangan, dengan peneliti terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tertentu, seperti acara perkawinan antar agama atau upacara keagamaan setempat.

(2) Materi: Yuyun Bakari, S.Sos,. MA.

Antropologi agama membahas sistem kepercayaan agama tertua suku Jawa, yaitu Kapitayan. Kapitayan adalah agama kuno masyarakat pulau Jawa, terutama bagi etnis Jawa sejak zaman paleolitik hingga megalit. Kapitayan, sebagai bentuk monoteisme asli Jawa, diwariskan turun temurun sejak zaman dahulu, diidentifikasi sebagai "agama kuno Jawa" atau "agama monoteis leluhur."

Dalam "agama angin muson," Kapitayan dianggap sebagai agama kuno penghuni Nusantara, dianut oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Penganut Kapitayan meyakini leluhur awal, Danghyang Semar, putera Sanghyang Wungkuham, merupakan tokoh penting. Sang Hyang Taya, Tuhan dalam Kapitayan, bersifat abstrak dan tidak dapat digambarkan. Tu atau To, yang bermakna "daya gaib," menjadi personalisasi Sang Hyang Taya yang disembah.

Kekuatan Sang Hyang Taya diwakili dalam batu, monumen, dan pohon, sehingga penganut memberikan persembahan sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti agama Hindu. Tokoh-tokoh idola seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dianggap punakawan dengan kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewa-dewa Hindu.

(3) Materi: Muh. Zainuddin Baddolahi, S.Sos,. M.Si

Ritual dan kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar mencakup tradisi Assongka Bala, dianggap sebagai bentuk tolak bala yang melibatkan pencegahan penyakit, pembawa rejeki, penyederhanaan urusan, dan keselamatan. Ritual ini dilakukan setahun sekali pada bulan Juni.

Assongka Bala menggunakan rempah-rempah tumbuh di Bugis-Makassar, dengan pemetikan daun yang memiliki teknik khusus. Prosesi ritual dilaksanakan selama 4 hari 4 malam, melibatkan makanan adat dan sesaji seperti songkolo le'leng, songkolo eja, songkolo pute, manu, loka, kaluku, dan tua'.

Setelah selesai, daunnya diberikan kepada setiap rumah sebagai tanda partisipasi dalam ritual. Selain Assongka Bala, masyarakat Bugis-Makassar melibatkan adat istiadat untuk melindungi diri dari perbuatan tercela, dengan Pangadakkang berlaku sebagai aturan ketika melanggar adat.

Upacara Akkallabua berfungsi untuk melindungi diri dari wabah penyakit, menerapkan isolasi diri tradisional. Penanganan penyakit melibatkan kepercayaan pada prinsip "bila ingin sehat, bekerjalah dan makanlah apa yang kamu tanam," yang mengarah pada pekerjaan sebagai petani.

Dalam ritual Assongka Bala, persembahan sesaji bersifat perorangan, mewakili masing-masing rumah tangga. Ritual ini diawali dengan persiapan sesaji di rumah masing-masing dan diserahkan kepada pemimpin adat. Kesederhanaan terlihat dalam persembahan makanan dan tingkat kebersamaan yang tinggi dalam pelaksanaan ritual.

Kearifan lokal terlihat dalam sikap menghormati leluhur, menghargai jasa orang lain, dan kepercayaan pada Allah SWT sebagai tempat berlindung dan meminta pertolongan. Dalam ritual, doa-doa dipanjatkan sebagai medium untuk memohon izin dan kepastian kepada Tuhan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun