Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Gadis Kecilku

3 Oktober 2021   17:50 Diperbarui: 3 Oktober 2021   17:54 709 52
"Akhirnya, Pangeran Patih menikah dengan Putri Ara yang cantik jelita. Mereka pun hidup bahagia di istana."
"Apel busuk itu, Putri Ara, Yah?"
"Iya, Nak!"

Mata bening itu menatapku. Dua garis bibir nan mungil, mengatup kaku. Kemudian membisu.

Tak seperti malam kemarin.

***

Malam kemarin. Sejak awal aku berkisah, wajah tulus itu tampak bercahaya.

"Setelah semua buaya berbaris di permukaan sungai. Kancil melompat ke tubuh buaya, sambil menghitung dengan suara yang keras. Satu, dua, tiga..."
"Akhirnya, Kancil sampai ke seberang, Yah?"

Kuanggukkan kepala. Tak sempat menutup cerita. Sesaat dahinya berkerut, kemudian tertawa seraya bertepuk tangan.

"Kancil yang pintar, Yah!"
"Anak Ayah juga, kan?"

Kedua mata itu berkedip bahagia. Menggulung lengannya di leherku. Dan, kembali berbaring di atas ranjang sambil memeluk bantal guling. Tanpa suara, kedua mata itu terpejam. Seulas senyuman tertinggal di bibir mungil itu.

Kutarik selimut, agar menutupi seluruh tubuh kecil itu. Sekilas, jemari tangan kananku mengusap helai rambut yang menutupi matanya.

"Yah..."

Kubatalkan langkah kakiku menjauh dari tempat tidur. Mata gadis kecilku sudah kembali terbuka.

"Kenapa?"
"Kancil bukan pintar, Yah. Tapi penipu!"
"Kan, biar selamat?"
"Iya. Tapi menipu buaya, kan?"

Lagi, kuanggukkan kepala. Tampaknya, gadis kecilku tak butuh penjelasan lanjutan. Matanya kembali terpejam. Dua lengannya memeluk bantal guling.

Kali ini, tanpa senyuman.

***

Pukul delapan malam.

Mata bening itu menatapku. Tak ada tanda kantuk seperti malam-malam biasanya. Kuraih buku besar "49 Dongeng Pengantar Tidur".  Kepala gadis kecilku bergerak ke kiri dan ke kanan. Menolak tanpa suara.

"Mau nonton kartun?"

Lagi. Kudapati gerakan yang sama. Tubuh kecil itu bangkit dari kasur. Memegang kedua lenganku. Wajahnya menengadah ke wajahku.

"Kita nyanyi, Yah?"
"Hah! Kan, udah malam?"
"Pelan-pelan aja."

Kulihat segaris senyuman singgah di bibir anak gadisku. Isi kepalaku berputar kencang memburu ingatan tentang lagu yang disukai anakku.

"Lagu kebunku, ya?"
"Kan, kita gak punya?"
"Oh, iya! Lagu hujan?"
"Hah?"
"Tik..Tik..Tik..Bunyi hujan di atas..."
"Kan, hari ini gak hujan, Ayah?"

Suara tawa memenuhi kamar tidur. Tubuh kecil itu mulai berbaring di kasur. Tapi, matanya masih menatapku. Menunggu.

"Lagu bintang kecil di langit yang biru?"
"Bukan biru! Di langit yang tinggi, Yah!"
"Eh? Bukannya..."
"Bilang Bu Guru, langit biru adanya di waktu siang. Terus, kalau siang tak tampak bintang. Adanya di waktu malam."
"Oh! Bu Guru yang tukar, ya?"

Plak! Plak!

Seketika, dua pukulan pelan serentak mampir di kedua pipiku. Kemudian, seperti biasa, kedua lengannya itu melingkar memeluk erat leherku.

Sambil menahan tawa, tangan mungil itu menarik selimut. Menutupi seluruh tubuh dan wajahnya. Satu tanda, aku tak perlu lagi bicara.

Dan, semua akan baik-baik saja.

***

Pukul sepuluh malam.

Gadis kecilku telah berdiri di pintu kamarku. Naluriku sebagai ayah, menuntun tubuhku memeluk tubuh kecil itu.

"Kenapa bangun?"
"Gak bisa tidur!"
"Lapar?"
"Gak!
"Mau ke belakang?
"Gak!"
"Mau tidur dengan Ayah?"

Tak ada jawaban. Kugendong dan kubaringkan di atas ranjang. Tapi, tubuhnya segera bangkit. Memilih duduk sambil menghadapku. Kedua tangannya memegang erat lengan kiriku.

"Kita nyanyi, Yah?"

Kudengar ajakan pelan dengan nada suara bergetar menyusup di telingaku. Dua jam berlalu, anakku masih menagih sebuah lagu.

"Baiklah. Lagu apa?"
"Ayah mau?"
"Pasti mau! Tapi sudah nyanyi, tidur ya? Besok sekolah, kan?"

Gadis kecilku, anak kelas nol besar itu tersenyum sambil anggukkan kepala. Tanda setuju. Kuusap pelan kepalanya.

"Lagu apa, Nak?"
"Ambilkan bulan Bu."

Mata bening itu menatapku. Menunggu. Aku keliru. Malam itu tidak akan baik-baik saja.

Curup, 03.10.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun