Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Berkahnya Ramadhan Milik Siapa?

13 September 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 175 0
”Banyak di antara orang yang berpuasa di bulan Ramadhan hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga”—al-Hadits.

ALHAMDULILAH….!! Bentar lagi kita puasa. Sebagai seorang muslim yang ta’at sudah barang tentu kita akan sangat senang dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Perasaan suka cita ini selayaknya diucapkan sebagai bagian dari rasa syukur kita kepada Allah SWT karena telah diberikan umur panjang sehingga bisa bertemu dengan sebuah bulan yang lebih mulia dibandingkan dengan seribu bulan lainnya. Bahkan dalam sebuah keterangan dikatakan bahwa akan masuk syurga bagi orang yang di dalam hatinya merasa gembira ketika menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Pada bulan ini Allah SWT memang memberikan begitu banyak keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Mulai dari ampunan dosa (maghfiroh), pelipat gandaan pahala (rahmat) sampai kepada rewards menjadi hamba-hamba yang berpredikat muttaqin yang akan terhindar dari siksa api neraka (ithqu minannar) menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi seorang muslim untuk tidak menyia-nyiakan Ramadhan.

Suasana keseharian masyarakatpun menjadi lain. Pada umumnya malam hari yang biasanya sepi menjadi lebih hidup, menjelang waktu isya begitu banyak orang keluar rumah, anak-anak, dewasa, laki-laki maupun perempuan, menyerbu masjid-masjid untuk menunaikan salat isya, tarawih dan tadarus Al Quran ; juga pada pagi harinya, untuk menunaikan salat subuh berjemaah. Terasa anggun dan sangat mengesankan, terlebih lagi kalau bisa tetap dipertahankan sampai dengan seterusnya.

Tapi ada pertanyaan yang menggelitik pemikiran saya, apakah keberkahan bulan ramadhan kali ini bisa juga dirasakan manfa’atnya secara langsung oleh kaum mustadh’afin. Misalkan dengan melihat indikator menurunnya angka kemiskinan secara signifikan pasca ramadhan? Berdasarkan pengalaman dari tahun sebelumnya, ada beberapa masalah yang biasanya akan mengakibatkan ramadhan kita kali ini akan kembali lewat begitu saja tanpa bisa memberikan dampak positif terhadap perubahan kehidupan sosial masyarakat kita.

Terjebak Ritualisme

Kebanyakan dari masyarakat muslim banyak terjebak kedalam ritualisme ibadah. Mereka menjadikan ibadah sebagai sesuatu hal yang sangat formalistis, kering dan bersifat rutinitas belaka, pada waktu dinihari mereka bangun untuk makan sahur, siang hari ”puasa” (menahan lapar dan dahaga), maghrib berbuka, malam tarawih, setelah shalat biasanya melakukan tadarus, 10 hari terakhir i’tikaf dimesjid, mengeluarkan zakat fitrah dll, tanpa bisa menangkap essensi dari ibadah-ibadah yang khas di bulan Ramadhan tersebut, yang sebenarnya justru sangat kental akan nuansa sosialnya.

Atas nama menghormati

Selama sebulan penuh seorang muslim disuruh untuk menahan diri dari makan dan minum. Yang sejatinya puasa bertujuan untuk melatih manusia agar bisa merasakan secara langsung derita yang dihadapi kaum mustadh’afin, sehingga diharapakan bisa timbul rasa empati dan akhirnya bisa tergerak untuk memberikan bantuan.

Namun pada kenyataannya, aparat pemerintahan kita sering menggunakan dalih untuk menghormati bulan suci dan biar masyarakat bisa lebih khusuk dalam melakukan ibadah, dijadikan sebagai alat legitimasi untuk melakukan penggusuran dan (katanya) penertiban. Pemukiman-pemukiman kumuh (tempat bernaungnya orang miskin), para pedagang kaki lima, pemilik warung (yang diduga) remang-remang, anak jalanan, gelandangan, pengamen dan pengemis. Mereka semua harus menjadi korban ”atas nama agama”. Bukankah hal tersebut justru menjadi kontradiktif dengan essensi dari bulan Ramadhan yang seharusnya penuh dengan rahmat dan maghfiroh. Tidakkah puasa justru seharusnya memberikan spirit bagi kita untuk berlomba dalam merahmati sesama makhluk Allah yang justru sedang sangat membutuhkan bantuan.

Naiknya harga kebutuhan pokok

Seiring dengan datangnya bulan ramadhan, biasanya akan disertai dengan naiknya berbagai macam harga kebutuhan pokok masyarakat, terlebih lagi ketika menjelang akhir bulan, harga-harga akan dengan cepat melonjak naik sampai seratus persen diatas harga normal. Dan menurut rumus yang sudah baku di pasar Indonesia, ketika sebuah harga dari suatu barang sudah naik, maka akan sangat sulit bahkan bisa dibilang sedikit mustahil untuk bisa turun lagi.

Bulan Konsumerisme

Bagi orang yang berduit, bulan ramadhan sering dijadikan sebagai ajang untuk memamerkan harta kekayaannya yang diperoleh dari hasil jerih payah selama bekerja. Seolah tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi orang lain, yang penting bagi dia adalah sebuah ”prestise”.

Dengan mobil diganti, rumah direnovasi, perabotan rumah tangga dibeli dan hal-hal lain yang juga serba baru, HP baru, baju baru, sepatu baru, celana baru, sarung baru, kopiah baru (mungkin juga nambah istri baru), kesemuanya itu bisa melahirkan sebuah sensasi luar biasa bagi dia, rasa terpuaskan. Parade gaya konsumerisme justru menemukan puncaknya pada minggu-minggu terakhir bulan Ramadhan. Mulai dari pasar-pasar tradisional sampai ke mall-mall yang super elit pasti akan dipenuhi oleh kerumunan orang yang dengan semangatnya membelanjakan uang mereka.

Bagi si miskin Ramadhan tidak lagi menjadi bulan yang penuh berkah. Keindahan ramadhan hanya bisa dimiliki oleh sikaya. Simiskin hanya bisa berharap, kelak ketika dia dibangunkan pada hari penghisaban bisa dimasukan kedalam surganya Allah SWT dan bisa bebas menikmati segala kenikmatan yang tidak pernah dia dapatkan selama di dunia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun