Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih Pilihan

Lesmana Mandrakumara dan Demokrasi Kita

10 Februari 2024   22:08 Diperbarui: 10 Februari 2024   22:08 419 4
Dalam epos wayang Mahabharata, baik dalam versi India maupun Jawa, Duryudana si tokoh antagonis sama-sama disebut punya anak kembar dampit alias kembar laki-laki dan perempuan.

Perbedaannya terletak pada nama dan sorotan soal karakteristik. Dalam versi India, putra Duryudana bernama Laksmanakumara, dan putrinya bernama Laksmana.

Dalam versi Jawa, nama Laksmanakumara diadaptasi menjadi Lesmana Mandrakumara, sementara nama Laksmana diadaptasi menjadi Lesmanawati.

Dari keduanya, porsi tampil Laksmana alias Lesmanawati terbilang jauh lebih sedikit dari saudara kembarnya. Dalam versi India, Laksmana hanya disebut menjadi istri Samba, putra Prabu Kresna, sementara dalam versi Jawa, Lesmanawati menjadi istri Raden Warsakusuma, putra Adipati Karna.

Di sisi lain, meski terdapat perbedaan porsi tampil dan tampilan umum pada tokoh Lesmana Mandrakumara dan Laksmanakumara, ada dua hal yang menjadi benang merah dari keduanya, yakni posisi sebagai putra mahkota Kerajaan Astinapura dan akhir perjalanan yang identik: gugur di tangan Abimanyu (putra Arjuna) dalam Perang Bharatayuda di Kurusetra.

Dalam pewayangan versi Jawa, Lesmana Mandrakumara bukan Laksmanakumara yang terkesan "biasa saja". Dia adalah satu tokoh "luar biasa" tapi dalam arti negatif.

Karena statusnya sebagai seorang "putra mahkota", Lesmana Mandrakumara begitu dimanja oleh ayah dan keluarga besarnya. Alhasil, dia tumbuh menjadi anak manja, yang justru sangat tidak cocok dengan statusnya.

Gambaran sosoknya pun terlihat suram. Meski tumbuh dewasa secara fisik, pertumbuhan mentalnya seperti mentok di level seorang bocah. Sisi suramnya makin lengkap, karena sifatnya sombong dan arogan, seperti ayahnya.

Dalam hal keterampilan tempur, sebenarnya Lesmana mendapat previlese istimewa, karena punya guru ahli sekelas Resi Dorna, tapi entah karena spek gurunya yang terlalu "overpower" atau level kemampuannya yang memang terlalu "kureng", putra Kurawa ini tidak lulus dalam studi keterampilan tempur.

Akibatnya, kemampuan tempur Lesmana Mandrakumara benar-benar kurang, untuk ukuran seorang pangeran. Dalam banyak lakon cerita, ia hampir selalu jadi bulan-bulanan, baik dalam pertarungan fisik maupun sayembara mencari jodoh.

Tragisnya, bukan hanya anak-anak Pandawa yang sakti seperti Wisanggeni, Gatotkaca atau Abimanyu saja yang pernah mengalahkannya, golongan Punakawan seperti Petruk juga pernah mengalahkannya dalam persaingan mengejar cinta, Dewi Prantawati, putri Prabu Kresna.

Kisah "kemenangan" Petruk ini hadir dalam lakon cerita "Petruk Nagih Janji". Sebuah lakon kreasi pujangga Jawa yang bisa dibilang "antimainstream", tapi menggambarkan seberapa payah kemampuan asli seorang Lesmana Mandrakumara.

Andai dia bukan anak seorang raja, mungkin dia hanya butiran debu berprofil mengenaskan. Sudah tingkahnya sombong, mentalnya bermasalah, tak punya kemampuan pula.

Apesnya, rakyat Astinapura hanya bisa menerima saja, karena negeri mereka adalah kerajaan yang bersifat turun-temurun berdasarkan garis keturunan Dinasti Bharata. Mau bagus atau jelek, tak ada pilihan sama sekali.

Tapi, dari seorang Lesmana Mandrakumara-lah, kita semua diajak melihat, kebobrokan figur yang seharusnya jadi panutan di masyarakat ternyata sudah ada sejak dulu, dan membawa dampak buruk di masyarakat.

Di era modern, kebobrokan itu antara lain terlihat dari banyaknya masalah korupsi, salah urus dan inkompetensi. Sebuah masalah yang sudah terlanjur membudaya dan sistemik.

Tentu saja, butuh upaya masif untuk memperbaiki semua kebobrokan ini, dan pilihan pada saat Pemilu menjadi langkah awal yang bisa menentukan. Meski opsi idealnya masih sebatas pada "the lesser evil", setidaknya ada upaya perbaikan yang  bisa dilakukan.

Jangan sampai kita asal memilih dan malah mendapat pemimpin seperti Lesmana Mandrakumara, karena negeri ini sudah terlalu lama akrab dengan kebobrokan.

Bukan karena alasan sentimen pada pihak tertentu, tapi karena politik dinasti atau semacamnya bisa menjadi satu situasi yang sangat menyebalkan buat masyarakat.

Tak ada lagi pilihan seperti dalam budaya demokrasi yang sehat, karena garis keturunan adalah kunci. Padahal, Indonesia bukan negara monarki seperti Inggris atau negara totaliter seperti Korea Utara.

Karena itulah, selagi masih ada pilihan untuk dipilih, kita perlu memilihnya dengan kesadaran penuh, karena ini akan berpengaruh (minimal) dalam lima tahun mendatang.

Bisa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun