Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Katalis

29 November 2023   23:04 Diperbarui: 29 November 2023   23:12 125 9
"Selalu ada yang pertama, bahkan untuk mereka yang paling tidak beruntung sekalipun."

Inilah kata-kata yang sering kudengar, tiap kali cerita getir soal cinta dan wanita kembali datang. Awalnya, ini memang terdengar seperti satu pelecut semangat.

Satu-dua kali mungkin bisa diterima, apalagi kalau itu sudah masuk fase baku tembak. Ibarat pertandingan, kekalahan ini terjadi di laga final.

Paling tidak, ada alasan untuk memberi titel hiburan "Juara Tanpa Mahkota". Walau sebenarnya ini adalah jenis luka parah tanpa darah. Seperti seorang amatir dihajar pukulan tenaga dalam kekuatan penuh oleh ahli silat paling kuat.

Mungkin, inilah senjata istimewa para wanita. Sudut kerling mata mereka bisa memikat, tapi pada saat yang sama, kata-kata mereka bisa memukul dengan sangat telak, saat kata "tidak" sudah tersimpul, sekalipun tanpa diucapkan.

Andai kekuatan maut ini bisa digunakan menjadi senjata tempur, daya hancurnya pasti tak kalah hebat dengan rudal balistik.

Bagi mereka yang sudah sampai di fase itu,  sekalipun berkali-kali, setidaknya ada sedikit rasa lega, karena semua sudah jelas.

Walau sakit, ini masih layak dirayakan, seperti yang dinyanyikan Si Cinta dalam lagu "Serenata Jiwa Lara":

Aku pulang, terbenam sudah mentari hati
Aku pulang, gugur lagi asmara mewangi
Sorai gelora, hati menepi
Tak ada bintang-bintang menari
sendiri lagi.....


Tapi, rasa sakit itu masih belum seberapa, jika dibandingkan dengan mereka yang dipaksa kalah sebelum bertanding. Entah karena keduluan atau memang bernasib sial, semua bisa terjadi begitu saja.

Andai bisa memilih, aku ingin kejutan buruk dan nasib sial itu datang saja ke orang lain, yang secara fisik dan fulus jauh lebih mapan. Apesnya, mereka selalu saja mampir dalam wujud cedera kaki atau sakit mendadak, tiap kali ada janji nonton film atau makan berdua.

Lebih sialnya lagi, itu bahkan datang juga saat ada janji acara santai berdua saja dengan teman dari golongan lawan jenis.

Aku tak tahu, itu kebetulan atau bukan, tapi rentetan kesialan itu selalu saja merusak semuanya. Andai bisa pinjam kaos milik Si Badung Mario Balotelli, aku akan memamerkannya dengan ugal-ugalan, sama seperti cara semua kesialan itu datang.

Lewat kaos itu, aku hanya ingin bertanya,

"Why always me?"

Semua rasa sakit itu lalu tumbuh menjadi rasa muak. Tiap kali ada kesempatan datang, tak ada harapan terlalu tinggi, karena akhirnya selalu sama: dipaksa kalah sebelum bertanding, dan pelan-pelan dilenyapkan secara karakter, lewat strategi jebakan offside friendzone yang begitu rapi.

Mungkin, inilah alasan, kenapa pepatah berbunyi "fitnah pembunuhan karakter lebih kejam daripada pembunuhan secara fisik". Dia bergerak tanpa suara, begitu terencana, dan hanya meninggalkan rasa sakit buat para korban.

Andai boleh protes, aku ingin bertanya,

"Kenapa para playboy atau playgirl boleh mengalaminya sampai ratusan kali, sementara aku belum juga boleh, barang sekali saja?"

"Apakah syarat 'sehat jasmani dan rohani' juga berlaku di sini?"

Kalau benar begitu, sungguh sangat biadab. Memang boleh se-dilarang itu?

Tapi, seperti tragedi yang bolak-balik datang tanpa permisi, ternyata momen keberuntungan pertamaku juga datang tanpa permisi, bersama sepaket kebetulan, dalam sebuah momen perjumpaan dengan teman lama.

Awalnya, bayangan nasib sial itu muncul, saat kedua kakiku tiba-tiba bengkak akibat mengalami cedera. Beruntung, saat momen naas itu terjadi, kami belum sempat menetapkan waktu dan tempat.

Waktu itu, kami sepakat mengikuti pilihannya, bukan pilihanku, karena aku meyakini, seorang wanita punya selera bagus, khususnya pada hal-hal yang sudah dipahaminya dengan baik.

Ketika akhirnya benar-benar terjadi seminggu kemudian, aku bersyukur karena cedera kakiku sudah cukup pulih. Meski masih bengkak, aku sudah cukup bisa berjalan.

Pada hari minggu sore itu, aku bertemu dengannya di sebuah kafe, sepulang dari ibadah di gereja. Sebagai teman yang sudah lama tidak bertemu, momen ini terasa menyenangkan.

Meski hanya berdua, obrolan kami begitu cair, seperti dua orang yang sudah kenal sejak masih bocah. Ditemani kopi dan cemilan, tiga jam lebih serasa berlalu dengan cepat. Padahal, kami dulu sangat jarang berbicara, apalagi sampai selama itu.

Malam itu, dayu lirik lagu "Sebuah Lagu" lamat-lamat merekam dengan baik ingatan momen pertama yang akhirnya jadi nyata.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun