Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Pilpres, Pemilu, dan Demokrasi Kita

3 Mei 2023   22:28 Diperbarui: 3 Mei 2023   22:33 322 2
Gaung Pemilu 2024 mulai terasa, apalagi setelah mulai muncul nama Capres, baik yang sudah diresmikan maupun belum. Tentu saja, ini menjadi satu fenomena umum dalam proses demokrasi (setidaknya dalam perspektif demokrasi di Indonesia).

Tapi, sebagai seorang warga biasa, saya justru mulai cemas, karena dinamika yang ada terlihat kurang sehat. Situasinya kurang lebih seperti dua pemilu terakhir, mulai ada polarisasi, atau setidaknya mengarah ke sana. Semua ada, dari media sampai kolom komentar dan grup obrolan.

Kalau arahnya menciptakan adu argumentasi, adu gagasan atau hal-hal konstruktif, memang sudah seharusnya, karena untuk itulah demokrasi ada.

Idealnya begitu, sayang, realita kadang lebih suka berkata lain. Ada perbedaan pandangan, tapi buahnya adalah debat kusir, dan munculnya orang-orang bersumbu pendek.

Sudah dua kali pemilu, dan masih sama, lengkap dengan standar ganda dimana-mana. Tentu saja, ini tidak bagus dan toksik, tapi anehnya masih dipertahankan. Keledai saja cuma dua kali masuk ke lubang yang sama.

Itu baru dari aspek perilaku, belum termasuk pilihan sosok yang ada, lengkap dengan plus-minus atau pro-kontra masing-masing.

Jujur saja, meski ada kebebasan untuk memilih atau golput, kualitas figur yang dihadirkan kadang meragukan. Untuk figur caleg misalnya, lebih banyak nama yang "asing" ketimbang familiar.

Celakanya, nama-nama yang familiar di masyarakat pun belum tentu meyakinkan, karena ada yang sudah jelas bermasalah tapi tetap maju, sementara yang relatif tidak bermasalah justru terbebani oleh lingkaran orang-orang problematik dan "deal" politik di sekitarnya.

Apa boleh buat, dari pemilu ke pemilu, pertanyaan yang selalu muncul masih berkutat pada "Who is the lesser evil?". Padahal, idealnya, rakyat berhak menanyakan kepada parpol dan kandidat, "Who is the best option?".

Hasilnya, dari pemerintahan ke pemerintahan, khususnya pasca reformasi, manuver kebijakan pemerintah tidak terlalu lincah, karena koalisi pemerintahan yang ada terlihat gemuk, dan kadang terganggu oleh kegaduhan tak penting.

Fenomena ini kebetulan berbanding lurus, dengan kegagapan sebagian partai politik, khususnya dalam mengakomodasi apalagi memahami segmen pemilih muda.

Belum banyak yang bisa dilakukan parpol sejauh ini, untuk menjadi lebih relevan dengan pemilih muda, yang jumlahnya terus bertambah. Kalaupun ada, baru sebatas membuat meme garing di medsos atau tarian kaku di Tiktok.

Selebihnya, mereka masih belum lepas dari pendekatan kuno yang serba ribet dan gaduh. Cara-cara seperti ini jelas membuat "ilfeel" pemilih muda.

Ingat gaduh soal batalnya Piala Dunia U-20 dan polarisasi masyarakat di dua pemilu terakhir kan?

Belum lagi, kalau pendekatan yang digunakan masih menggunakan cara-cara kuno seperti politik identitas. Di era digital yang lintas batas, cara-cara ini sudah sangat tidak relevan, kalau tidak boleh dibilang terlalu primitif.

Kalau cara lama masih dipertahankan, jangan kaget kalau pemilih muda cenderung kurang peduli apalagi berminat dengan politik nasional. Meski menarik, segalanya serba rumit dan bobrok.

Terlalu riskan untuk generasi muda terjun ke sana, bahkan jika punya banyak modal uang atau koneksi. Mungkin, inilah hasil dari sebuah demokrasi yang dibangun diatas modal besar, bukan kualitas.

Tidak banyak yang bisa diharapkan di sini, karena banyak kontestan yang terlibat sudah bertaruh. Buktinya, di hampir setiap pemilu, ada saja caleg yang mengalami gangguan jiwa, akibat gagal setelah "bertaruh" begitu banyak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun