Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Saya dan Transportasi Umum, Sebuah Memori

3 September 2022   13:40 Diperbarui: 3 September 2022   13:45 223 13
Bicara soal transportasi publik di Yogyakarta, terutama area kota Jogja dan Sleman, ada sebuah memori cukup panjang, yang melekat di ingatan saya. Kebetulan, sejak masa SMP sampai lulus kuliah, angkutan kota cukup rutin menjadi kendaraan sehari-hari.

Mulai dari pulang sekolah, berangkat-pulang kuliah, pergi ke gereja, sampai nonton film atau ke mall, angkutan kota konvensional hampir selalu bisa diandalkan, kecuali jika sudah diatas pukul 6 sore alias di luar jam operasional.

Pada masa SMP (2005-2008), bus konvensional "KOPATA" (mirip KOPAJA di Jakarta) rutin jadi tumpangan saat pulang sekolah. Karena nomor jalur bisnya 5, kadang teman-teman menjulukinya Limosin, yang diambil dari kata "Lima" dan jenis mobil "Limousine".

Ada juga bus "ASPADA", "KOBUTRI" dan ragam trayek lain, baik dalam bentuk angkutan mobil jenis Colt atau bis Antarkota Dalam Propinsi (AKDP) ukuran kecil seperti bus rute Jogja-Sleman-Tempel yang kadang saya naiki, tergantung titik tujuannya.

Awalnya, saya sempat nyasar beberapa kali, karena masih "anak baru" di Jogja.
Syukurlah, setelah terbiasa, tidak ada masalah. Saya ingat, waktu itu tarif yang dipatok adalah 1000 rupiah untuk pelajar berseragam dan 2000 rupiah untuk umum,  dengan sistem tarif jauh-dekat.

Setelah saya masuk SMA medio 2008, keberadaan bus kota konvensional mulai digeser oleh bus tipe "Bus Rapid Transit" alias BRT "Trans Jogja".  Bisa dibilang, ini jadi semacam "upgrade" karena busnya menggunakan AC.

Konsep bus ini sebenarnya cukup menarik, karena mengadopsi konsep ala Trans Jakarta. Untuk ukuran angkutan umum ber-AC, harganya bisa dibilang sangat masuk akal, yakni 2000 rupiah untuk pelajar berseragam 3000 rupiah untuk umum.

Karena haltenya berada di lokasi-lokasi strategis, dengan jam operasional sampai pukul 9.30 malam, dan punya penjaga halte yang sangat membantu penumpang, BRT satu ini cukup bisa diandalkan. Kuliah sore pun tak masalah.

Masalahnya, karena tidak punya jalur khusus, saat jam macet, bus Trans Jogja sering terlambat datang, bahkan kadang sampai hitungan jam. Jadi, moda transportasi ini kurang ideal kalau kita sedang buru-buru.

Masalah lainnya ada pada "maintenance" kendaraan yang kurang optimal, terutama pada bagian kompresor AC. Akibatnya, kadang ditemui bus yang terpaksa jadi non-AC, dan baru diganti jika sudah kurang layak. Tapi, umur performa optimal bis baru pun juga tidak terlalu panjang,  akibat "maintenance" yang kurang optimal.

Situasi ini seperti dibiarkan begitu saja, sampai akhirnya datang aplikasi ojek online. Moda transportasi satu ini lalu menjadi pukulan telak, karena punya beragam voucher promosi yang membuat tarifnya kadang lebih murah dari angkutan kota.

Seiring datangnya era ponsel pintar dan pola pikir masyarakat yang makin praktis, minat publik pada transportasi umum pun pelan-pelan makin tergerus. Saya sendiri memilih beralih ke ojek online sejak punya ponsel pintar, medio 2016, atau tak lama setelah lulus kuliah. Di sini, saya mempertimbangkan betul faktor kepraktisan dan kondisi fisik saya.

Sejak saat itulah, saya praktis tidak pernah lagi bersinggungan dengan angkutan kota. Saat saya berkesempatan merantau ke Jakarta dan kembali lagi ke Jogja pun, ojek online tetap jadi andalan.

Memang, Jakarta punya ragam jenis transportasi umum yang paling lengkap di Indonesia, mulai dari bis sampai kereta komuter. Masalahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan transportasi umum di Jakarta, karena banyak teman dan kerabat yang menyarankan demikian.

Pertimbangannya, tentu saja karena kondisi fisik dan keamanan. Dengan kondisi fisik yang "tidak normal", saya sudah pasti kalah kalau harus berdesakan.

Belum lagi kalau ada copet atau sebangsanya, saya hampir pasti akan jadi sasaran empuk. Dari segi budaya, kesadaran memprioritaskan tempat duduk untuk "kelompok rentan" seperti lansia, ibu hamil dan difabel juga masih belum terbangun dengan baik.

Uniknya, situasi jauh lebih kondusif justru saya temui di stasiun kereta api dan bandara, khususnya pada rute jarak jauh seperti Yogyakarta-Jakarta. Tingkat ketertiban di sana sangat baik, dan petugas di sana sangat membantu. Saya pun tak ragu-ragu walaupun sendirian.

Berhubung saya sering pergi sendirian, prinsip "safety first" jelas tak bisa diganggu gugat. Kalau ada yang praktis, kenapa harus ribet?

Di sisi lain, silang sengkarut soal ribet dan rawannya transportasi umum sebenarnya sudah jadi satu masalah lama di Indonesia.  Jadi, bukan sepenuhnya salah masyarakat kalau mereka kurang berminat naik transportasi umum seperti angkutan kota.

Masih agak sulit untuk membuatnya lebih "memasyarakat" seperti di negara maju, karena masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbudayakan dengan baik untuk itu. Antri dengan tertib saja sulit, apalagi yang lebih kompleks.

Tapi, kalau pemerintah mau membuat transportasi umum yang benar-benar berkualitas, seharusnya tidak sulit untuk membuat masyarakat terbudaya tertib. Ini sudah cukup sukses di stasiun kereta api dan bandara, seharusnya bisa juga ditempatkan di moda transportasi umum lain, termasuk angkutan kota.

Kalau kereta api jarak jauh dan pesawat bisa tertib, seharusnya yang lain juga bisa.

Masalahnya, kapan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun