Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Saatnya Jujur Soal Timnas Indonesia

20 Mei 2022   12:03 Diperbarui: 20 Mei 2022   12:06 545 4
Kekalahan 0-1 Timnas Indonesia atas Thailand di semifinal SEA Games 2021, Kamis (19/5) menjadi satu cerita muram, yang mungkin membuat para pendukung Timnas kecewa. Makanya, banyak yang lebih fokus menyoroti permainan "nakal" Thailand, terutama setelah mereka unggul.

Ada yang berpura-pura cedera, ada yang membuang bola, dan entah apalagi. Tujuannya simpel: mengulur-ulur waktu untuk menjaga keunggulan dan menyimpan tenaga di final.

Ada yang bilang ini tidak "gentle", curang alias tidak sportif. Argumentasi soal ini menjadi valid, ketika emosi para pemain Indonesia akhirnya meledak di akhir babak kedua perpanjangan waktu.

Akibatnya, wasit terpaksa menarik total lima kartu merah dari sakunya. Di sini, Timnas Indonesia unggul 3-2 atas Thailand. Sebuah kompensasi yang bagus, dari sebuah laga yang pelit gol.

Tapi, andai Tim Garuda berada di posisi unggul, dan bersikap seperti para pemain Thailand, saya yakin, media, fans dan warganet Indonesia akan kompak berkata, "ini bagian dari strategi".

Betul?

Berangkat dari kekalahan ini, sudah saatnya kita melihat lagi. Setelah kegagalan demi kegagalan sejak SEA Games 1991, lengkap dengan catatan setengah lusin "medali perak" Piala AFF, dan empat di SEA Games, izinkan saya bertanya.

Apakah kita sudah "terlatih patah hati" bersama tim nasional tersayang?

Jika ya, mari kita jujur.

Secara kemampuan individu, pemain kita sebenarnya punya modal kemampuan dasar cukup baik. Tapi, tata kelola sepak bola nasional yang masih saja amburadul, membuat modal dasar itu sulit berkembang, bahkan ada yang menurun, karena kualitas kompetisi tidak kunjung membaik.

Buktinya, pelatih Timnas Indonesia beberapa kali mengeluhkan soal keterampilan dasar, misalnya soal mengoper bola. Padahal, pemain tim nasional seharusnya sudah cukup terampil, karena mereka adalah pemain pilihan, kecuali kalau dia memang pemain titipan.

Praktis, bermain di luar negeri jadi solusi instan terbaik. Masalahnya, tidak banyak pemain Indonesia yang bisa awet di luar negeri, dan lebih sedikit lagi yang bisa bermain reguler.

Jadi, Timnas Indonesia yang kita lihat sekarang adalah cermin dari itu semua. Masalahnya pun begitu-begitu saja: sering salah oper, kadang baku hantam dengan pemain lawan, rawan kehabisan bensin di babak kedua, dan sebagainya.

Saat melawan tim sekelas Timor Leste, Myanmar atau Laos, mungkin masalah ini belum akan jadi masalah. Malah, banjir pujian yang datang.

Tapi, begitu bertemu tim yang pola permainannya lebih terorganisir seperti Thailand dan Vietnam, apalagi Korea Selatan dan Jepang, situasinya lain. Jangankan menang, mencetak gol saja kadang rasanya sulit sekali.

Makanya, tiap kali Timnas Indonesia kalah, sebagian warganet Indonesia rutin berseloroh, "kita balas di Liga Dangdut". Maklum, Indonesia masih belum punya lawan di sini, karena mayoritas juri dan penontonnya berasal dari Indonesia.

Masalah di Timnas Indonesia semakin lengkap, karena media kita seperti tak bosan membangun "framing" soal potensi besar pemain kita, entah lokal atau diaspora.

Pemberitaannya pun kadang dibuat sebombastis mungkin, lengkap dengan bumbu sikap "overproud", yang konon sudah dikenal luas di mancanegara.

Hasilnya, jangan kaget kalau bias terhadap tim nasional Indonesia sering kelihatan, dan tentu saja bebas dari jerat sensor KPI yang tersohor itu.

Misalnya, sering ada komentator yang bersyukur, setiap kali pemain tim nasional lawan gagal mencetak gol, atau prediksi rasa ekspektasi yang rutin datang.

Padahal, bias seperti itu seharusnya tidak boleh ada di media. Dalam porsinya, media harus tetap mengedepankan objektivitas.

Ada pujian saat tampil bagus, tapi seharusnya jangan lupa memberi kritik konstruktif jika bermain jelek. Jadi, ada keseimbangan, dan itu bisa memberikan dampak positif ke depan.

Kecuali, jika mereka memang ditugasi melanggengkan kebobrokan yang sudah ada.

Di sisi lain, keseimbangan ini juga bisa mengedukasi masyarakat soal nasionalisme, supaya tidak jadi nasionalisme banal dan halu massal, seperti yang selama ini kita lihat.

Bukannya tidak nasionalis, tapi nasionalisme itu seharusnya sesuatu yang bersifat sadar, bukan banal, apalagi halu.

Lagipula, "rasa cinta" semacam ini bukan hanya soal pujian di saat menang atau kalah, tapi juga soal keberanian untuk jujur, termasuk berpandangan realistis, sesuai realitas.

Dengan kondisi sepak bola nasional yang masih begini-begini saja, sikap realistis perlu mulai dikedepankan. Timnas Indonesia memang biasa dibebani ekspektasi tinggi publik, tapi mereka belum cukup kapabel untuk diharapkan.

Ibarat laptop, spek Timnas Indonesia saat ini masih belum cukup kuat untuk dipakai bekerja berat atau main game dengan spek besar. Kalau dipaksakan, mungkin masih bisa sedikit, tapi setelah itu pasti langsung rusak parah, karena babak belur.

Tanpa keseimbangan ini, hubungan yang sudah ada hanya akan terus jadi "cinta bertepuk sebelah tangan", karena di saat publik serius, PSSI selaku induk sepak bola nasional justru masih saja main-main, dan hanya bisa membonceng rasa cinta ini, tanpa benar-benar melakukan sesuatu yang serius untuknya.

Anggaran untuk cabor sepak bola memang besar, bahkan konon paling besar, tapi tidak pernah dikelola dengan baik. Hasilnya? Ya begitulah.

Kalau begini terus, sampai gajah bisa bertelur sekalipun, situasinya akan tetap sama. Pelatih sekaliber Juergen Klopp, Carlo Ancelotti atau Pep Guardiola pun pasti akan terlihat seperti pelatih kelas tarkam, jika menjadi pelatih Tim Garuda.

Jangan kaget juga, kalau suatu saat nanti tim seperti Kamboja bisa mengalahkan Timnas Indonesia. Sebagai gambaran saja, dalam beberapa tahun terakhir, sepak bola Kamboja sedang mulai berbenah, dengan menggandeng JFA (PSSI-nya Jepang) dan J-League, untuk memajukan sepak bola nasional mereka.

Cinta memang sesuatu yang sifatnya tanpa syarat, tapi kalau itu bertepuk sebelah tangan, apalagi sampai puluhan tahun, itu konyol namanya.

Makanya, alih-alih berharap terlalu banyak, lebih baik kita nikmati saja aksi Tim Merah Putih apa adanya. Menang ya syukur, kalah ya sudah. Sesimpel itu.

Selama PSSI dan pihak terkait masih betah membuat publik sepak bola nasional terjebak "cinta bertepuk sebelah tangan", selama itu juga bagian terbaik dari aksi Timnas Indonesia hanya ada saat lagu kebangsaan "Indonesia Raya" berkumandang.

Sisanya, Que Sera Sera.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun