Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

September dan Mei: Antara Memori, Repetisi dan Rekognisi

14 Mei 2022   12:41 Diperbarui: 14 Mei 2022   12:42 208 4
Di Indonesia, ada dua bulan yang biasanya lekat dengan peringatan momen sejarah beraroma politis, yakni September dan Mei. Keduanya menjadi tonggak peralihan masa: Dari Orde Lama ke Orde Baru; dari Orde Baru ke Orde Reformasi.

Kedua momen ini sama-sama menyimpan banyak memori. Ada semangat pembaruan, yang muncul bersama banyak nama yang terpaksa jadi tumbal, entah ditumbalkan jiwanya, hartanya atau karakternya.

Ada harapan yang datang bersama luka, entah fisik atau batin. Harapan selalu menjadi satu bagian paling nikmat, karena ia berkelindan dengan semangat pembaruan.

Tapi, keduanya rutin menghadirkan rasa ngeri, terutama bagi yang masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana tidak, di kedua momen ini, banyak manusia seolah berjiwa monster raksasa; brutal dan tak kenal ampun.

Bagi mereka yang bisa naik ke atas panggung, rasa nikmatnya mungkin tak terlukiskan. Apapun boleh dilakukan semaunya; mencuri atau berbuat kejam sekalipun tak pernah jadi soal, karena semua bisa diatur.

Tapi, bagi mereka yang jadi tumbal atau mengalami luka, ini adalah rasa pahit yang pekat. Dia selalu datang rutin, walau sebenarnya tak pernah diharapkan.

Ada yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa merelakan, tapi ada yang dipaksa membawa ini seumur hidupnya.

Ini jadi satu hukuman yang terlalu mengerikan, karena mereka sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak mencuri, tapi dijarah dirampas hak miliknya, dan dihukum mendapat luka yang tak bisa ditawar.

Ini terlalu tidak adil, karena di saat bersamaan, para penyamun masih bisa hidup mewah di atas penderitaan rakyat. Andai toh ditangkap aparat, jerat hukumnya masih bisa dapat diskon besar.

Di bulan Mei dan September, ada begitu banyak memori berseliweran, seperti gerombolan ikan di laut lepas. Kedua bulan ini selalu menjadi satu portal waktu, yang kadang terlihat hebat seperti di film-film Hollywood, meski kadang juga terlihat menyeramkan, seperti malam Satu Suro.

Ada begitu banyak sudut pandang muncul, lengkap dengan pro-kontra di sekitarnya. Semua merasa benar, setidaknya menurut sudut pandang masing-masing.

Meski sudah lama berlalu, nyatanya masih banyak hal yang kebenarannya belum terungkap, atau sengaja tidak ingin diungkap, entah sampai kapan.

Pada akhirnya kesimpangsiuran ini tetap dibiarkan bergulir liar, hingga menjadi sebuah misteri, karena tidak semua mau menceritakan.

Setiap tahunnya, negara rutin memperingati keduanya dengan sikap hati-hati. Maklum, masih ada banyak pihak yang tak bosan membunyikan narasi "bahaya laten" di sana.

Narasi "bahaya laten" sebenarnya tepat untuk memperingatkan masyarakat, agar sebisa mungkin tidak kembali ke masa-masa sulit itu, tapi tidak untuk diboncengi mereka yang berjiwa oportunis.

Ini menjadi satu repetisi paling menyebalkan, karena dua momen pergantian masa ini sebenarnya menyiratkan pesan yang sama: di saat para pembesar berebut kekuasaan, atau dibuat silau olehnya, rakyatlah yang jadi pihak paling menderita.

Apapun bentuknya, selama yang berkuasa tak pernah melihat ke bawah, dan menaruh hati di atas tanah, ceritanya akan tetap suram bagi rakyat. Seperti sebuah acara seremonial, ini hanya akan jadi sebuah repetisi kosong.

Padahal, di balik sifat repetitifnya, peringatan rutin di dua momen ini seharusnya bisa menjadi satu momen rekognisi, untuk mengingat, betapa mahalnya harga sebuah nafsu untuk berkuasa.

Jika rekognisi ini jadi dasar sebuah kesadaran, seharusnya dua momen penuh cerita ini cukup berhenti sampai di situ saja. Tidak untuk diulang lagi atau dipolitisasi, kapanpun itu.

Karena, jika sudah terlanjur disilaukan dengan tahta, mereka yang tidak siap atau layak justru akan lupa diri, bahkan kehilangan sisi kemanusiaannya. Kalau sudah begini, hukum rimba lah yang akan berkuasa: yang kuat memakan yang lemah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun