Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Saat Provokasi Menjadi Kata Kunci

15 April 2022   07:48 Diperbarui: 15 April 2022   07:49 337 5
Babak perempatfinal Liga Champions telah tutup buku, dengan Manchester City, Real Madrid, Liverpool dan Villarreal lolos ke semifinal. Tapi, ada satu cerita yang tersisa darinya.

Cerita itu hadir, dari garis besar strategi Atletico Madrid saat menghadapi Manchester City dalam dua leg pertandingan. Meski kedua pertandingan ini hanya menghasilkan skor agregat 1-0, strategi yang diterapkan Atletico menjadi sorotan.

Seperti biasa, Jorge Koke dkk bermain rapat, dengan sistem pertahanan gerendel ala Italia. Di leg pertama, formasi 5-5-0 mereka bahkan menuai kritik tajam, karena tak ada satupun tembakan yang dibuat sepanjang pertandingan.

Di leg kedua, permainan Los Colchoneros memang lebih baik, tapi tak mampu menjebol gawang Ederson, sementara City mengontrol penguasaan bola seperti biasa. Pendek kata, Atleti dibuat buntu, oleh kebuntuan yang mereka buat sendiri.

Sebenarnya, tidak ada yang spesial dari strategi rival sekota Real Madrid itu, terutama saat bertemu tim kuat, kecuali satu hal: provokasi kepada tim lawan. Kok bisa?

Secara umum, ini adalah satu taktik andalan Diego Simeone, setiap kali Los Rojiblancos bertemu dengan lawan yang secara kualitas tim lebih baik. Makanya, pertandingan selalu berjalan alot, karena memang dikondisikan seperti itu sejak awal.

Secara taktis, El Cholo menyadari, strategi bermain agresif bisa saja diterapkan, tapi itu sama saja bunuh diri. Kecuali, jika menang jumlah pemain.

Pendekatan ini berbeda total, dengan apa yang biasa diterapkan Marcelo Bielsa, mentornya semasa bermain dulu. Seperti diketahui, El Loco dikenal berani bermain frontal, sekalipun kualitas tim lawan lebih bagus.

Masalahnya, jika hanya bertahan, sekuat apapun itu, pasti akan jebol juga. Makanya pelatih asal Argentina itu menambahkan fitur provokasi kepada anak didiknya.

Tujuannya, supaya pemain lawan tersulut emosi, dan diganjar kartu kuning (bahkan merah) dari wasit. Jika umpan provokasi ini berhasil dimakan tim lawan, merusak sistem permainan lawan dan membobolnya akan jauh lebih mudah.

Inilah alasan, mengapa para pemain Atletico kadang hanya mengincar satu-dua pemain lawan sebagai target utama provokasi, dengan melakukan tekel-tekel kasar atau minimal "nakal", sambil sesekali menampilkan aksi teatrikal saat dilanggar.

Jika si pemain tersulut emosi dan membalasnya, itu bukan perkara sulit. Tapi, sekali cedera atau dapat kartu kuning, dia akan dipaksa bermain hati-hati. Akibatnya, performa si pemain akan melempem.

Situasi akan semakin kacau, andai ternyata ada beberapa pemain lawan yang jadi target provokasi dan termakan provokasi itu.

Pada titik paling ekstrem, suasana akan memanas, dan bisa jadi ajang baku hantam, seperti yang kita lihat di akhir pertandingan leg kedua melawan Manchester City.

Seperti diketahui, duel yang berakhir tanpa gol ini berlangsung panas, dengan bumbu aksi baku hantam sampai ke lorong pemain.

Di lapangan sendiri, tekel-tekel kasar dan nakal, plus provokasi kepada pemain lawan sukses membuat wasit memberikan kartu kuning kepada Joao Cancelo dan Rodri. Bukan cuma itu, Phil Foden juga harus diperban kepalanya, sementara kondisi Kyle Walker dan Kevin De Bruyne meragukan untuk pertandingan selanjutnya.

Di sisi lain, strategi provokatif ini juga ikut menyasar wasit. Hampir setiap kali ada pelanggaran, Antoine Griezmann dkk kompak mengerumuni dan terus berargumentasi dengan wasit, supaya wasit bisa dibuat ragu, dan membuat keputusan yang menguntungkan.

Strategi ini memang cukup merusak permainan, sehingga kerap disebut sebagai "anti-football", yang memang sudah ada sejak lama, bahkan sempat membudaya di beberapa negara.

Pada masa lalu, Italia punya "furbizia", yang sukses membuat seorang Zinedine Zidane menyundul Materazzi, sementara Uruguay sempat menampilkan versi sangar dari "Garra Charrua", yakni permainan keras menjurus kasar.

Bentuknya memang menyebalkan, tapi, ini menjadi strategi umum, untuk mengimbangi, bahkan melemahkan lawan yang lebih kuat.

Tujuannya jelas: menang. Kalaupun akhirnya kalah, lawan akan dibuat menang dalam kondisi babak belur, sehingga akan sedikit kesulitan di pertandingan atau babak selanjutnya.

Strategi provokasi ini baru akan jadi senjata makan tuan, jika pemain lawan mampu bermain lebih cerdik, dan tidak termakan provokasi.

Disebut senjata makan tuan, karena lawan yang lebih cerdik akan "memaksa" intensitas permainan jadi lebih tinggi, dengan tekel-tekel atau keras pelanggaran keras jadi pemandangan umum.

Akibatnya, mereka jadi lepas kendali, dan ada pemain yang harus dikartu merah wasit. Pada laga melawan Manchester City, Atletico Madrid kehilangan Felipe yang dikartu merah, akibat aksi ribut-ribut di lapangan, saat masa injury time babak kedua.

Sebelumnya, tim penghuni Estadio Wanda Metropolitano ini juga tiga kali kali mendapat kartu merah di fase grup liga Champions. Dua kartu merah didapat saat bertemu Liverpool, sementara satu lagi saat bertemu FC Porto.

Dari tiga momen ini, dua kartu merah diantaranya terjadi karena pelanggaran keras kepada pemain lawan, sementara satu lagi muncul karena aksi kurang respek kepada wasit. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun