Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

PSG di Titik Jenuh

14 Maret 2022   12:36 Diperbarui: 14 Maret 2022   12:48 189 1
Bicara soal Ligue 1 Prancis, satu hal yang sedekade terakhir menjadi warna khas adalah dominasi Paris Saint Germain. Dalam periode ini, mereka sukses memborong 7 dari 10 titel juara Ligue 1, 6 dari 10 titel Piala Prancis dan Piala Liga Prancis, dan 8 dari 10 Piala Super Prancis.

Dominasi mereka di dalam negeri tampak sulit dibendung, karena selalu punya tim bertabur bintang. Mulai dari era Zlatan Ibrahimovic, David Beckham, Neymar, Kylian Mbappe, sampai Lionel Messi, semua datang silih berganti, berkat dukungan dana wah dari Qatar Sports Investment pimpinan Nasser Al Khelaifi.

Kekuatan finansial Les Parisiens juga membuat tim-tim lain di Ligue 1 kesulitan mengejar. Hanya Monaco (2016-2017) dan Lille OSC (2020-2021) yang mampu memutus rantai dominasi mereka di liga, berkat kehebatan Luis Campos, direktur teknik handal yang kini bergabung dengan Real Madrid.

Satu lagi kejutan kala itu muncul, dari keajaiban Montpellier HSC, yang dimotori trio Remy Cabella, Olivier Giroud dan Younes Belhanda. Mirip seperti kisah Leicester City di Inggris.

Disebut demikian, karena tim asuhan Rene Girard mampu meraih trofi dengan komposisi pemain relatif seadanya, di musim 2011-2012, tahun saat PSG mulai hadir sebagai klub kaya baru di Eropa.

Melihat kedigdayaan PSG di Prancis, mungkin banyak yang merasa cukup puas. Maklum, klub ibukota ini bisa dibilang rutin meraih trofi tiap musimnya. Dalam keadaan paling buruk pun, minimal ada satu trofi yang bisa diraih.

Tapi, standar manajemen klub dan suporter mereka ternyata tak serendah itu. Setiap tahunnya, target juara di Eropa selalu dicanangkan, bersama datangnya pemain bintang dan pelatih jempolan seperti Carlo Ancelotti (Italia) Thomas Tuchel (Jerman) dan terkini Mauricio Pochettino (Argentina).

Tapi, hasilnya tetap nihil. Hanya sekali mereka lolos ke final dan semifinal. Celakanya, progres mereka terlihat stagnan, karena cukup sering bongkar pasang pemain dan pelatih.

Ini menghasilkan ketidakstabilan, yang membuat rival abadi Olympique Marseille agak sulit berkembang di tingkat Eropa.

Praktis, sejak era Qatar dimulai, hanya Ancelotti saja yang tidak hengkang karena dipecat. Kala itu, Don Carlo pergi setelah menerima pinangan Real Madrid dan langsung meraih trofi Liga Champions musim 2013/2014, di tahun pertamanya bersama klub raksasa Spanyol.

PSG juga sering bernasib apes di Eropa, karena kerap tumbang akibat kena comeback. Sebelum ditendang Real Madrid baru-baru ini, mereka sempat jadi korban "remontada" Barcelona (2017) dan Chelsea (2014).

Di fase grup, Marquinhos dkk memang perkasa, tapi di fase gugur lain cerita. Ini masih menjadi masalah, karena sang bos kurang fokus dalam membangun tim dari dalam.

Dalam hal membangun tim, Al Khelaifi terlihat masih fokus pada "mengoleksi pemain bintang", layaknya bermain di game. Untuk urusan ini, Leonardo Araujo selaku direktur teknik klub memang bisa membantu, karena terbukti handal dalam bernegosiasi.

Masalahnya, punya banyak pemain bintang dalam satu tim pasti memusingkan buat pelatih, karena ia akan kesulitan memadukan ego pemain bintang menjadi satu kesatuan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun