Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Kembalinya Siklus "Roller Coaster" Manchester United

23 September 2021   12:55 Diperbarui: 23 September 2021   12:58 434 6
Dua kali menang dan dua kali kalah. Begitulah performa Manchester United di empat pertandingan terakhir, dalam tiga ajang berbeda: Liga Inggris, Liga Champions dan Piala Liga.

Paling gres, tim asuhan Ole Gunnar Solskjaer takluk 0-1 saat menjamu West Ham United di Old Trafford, Kamis (23/9, dinihari WIB) dalam ajang Piala Liga. Gol cepat Manuel Lanzini di menit ke 9 memaksa Anthony Martial dkk angkat koper lebih awal.

Meski menampilkan sejumlah pemain cadangan, kekalahan ini menjadi sebuah ironi, karena di pertandingan sebelumnya, mereka mampu menang 2-1 atas The Hammers secara dramatis. Saking dramatisnya kemenangan di Liga Inggris itu, sebagian Manchunian sampai ada yang merayakan layaknya jadi juara.

Tapi, kekalahan di Old Trafford atas lawan yang sama, mau tak mau memaksa mereka kembali jatuh ke bumi. Lucunya, siklus "roller coaster" ini juga terjadi di pekan sebelumnya.

Seperti diketahui, Setan Merah saat itu sukses mengalahkan Newcastle United dengan skor 4-1, dalam laga "debut kedua" Cristiano Ronaldo. Kemenangan ini disambut begitu meriah, karena CR7 langsung mencetak dua gol. Euforia kemenangan pun muncul.

Euforia kemenangan itu ternyata jadi bumerang, karena pada laga berikutnya, tim Manchester merah justru menanggung malu, saat takluk 1-2 di markas Young Boys (Swiss) dalam ajang Liga Champions. Dalam laga ini, Ronaldo memang kembali mencetak gol, tapi blunder Jesse Lingard dan kartu merah Aaron Wan-Bissaka, memaksa mereka gigit jari.

Siklus "roller coaster" ini ternyata berlanjut, dalam sepasang laga menghadapi West Ham. Gol Jesse Lingard dan penyelamatan penalti David De Gea di London, mampu dibayar lunas oleh tim asuhan David Moyes, tak sampai sepekan kemudian.

Dalam dua laga melawan tim asal kota London ini, United sebenarnya mampu mendominasi penguasaan bola dan alur permainan. Tapi, kurangnya kreativitas serangan, plus permainan disiplin lawan membuat mereka buntu.

Di sisi lain, ketergantungan pada Cristiano Ronaldo mulai tampak, karena bintang Portugal ini mampu berperan sebagai seorang finisher di kotak penalti lawan. Sebuah gaya main khas darinya, sejak mulai menapak usia kepala tiga.

Benar, meski masih bugar, gaya main eks pemain Real Madrid belakangan terlihat mirip seperti Filippo Inzaghi atau Karim Benzema. Sprint kencangnya tak lagi sering dilakukan, karena ia lebih sering bermain kucing-kucingan dengan jebakan offside.

Andai tak dapat cukup suplai umpan matang, ia akan menjadi layang-layang putus, seperti saat babak kedua menghadapi Young Boys. Jika Ole mengistirahatkannya, seperti saat melawan West Ham di Piala Liga, tim berada dalam masalah lebih rumit.

Terbukti, meski mendominasi alur permainan, kreativitas The Red Devils terbukti buntu. Tak adanya finisher andal seperti Ronaldo, membuat lini depan tim terlihat tumpul.

Di sisi lain, Jadon Sancho yang dibeli mahal dari Borussia Dortmund ternyata masih belum klik dengan tim. Malah, sebagian pihak menyebut, pemain Inggris ini bisa saja bernasib seperti Donny Van De Beek musim lalu; dibeli mahal, tapi malah melempem.

Siklus "roller coaster" United belakangan ini mungkin menjadi semacam repetisi dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap kali tampil bagus, pujian datang seperti banjir, begitu juga dengan cacian di saat tim tampil jelek.

Saat tim tampil jelek, Ole Gunnar Solskjaer hampir pasti jadi kambing hitam. Tapi, setiap kali rumor pemecatan datang, pelatih asal Norwegia itu mendadak jadi sakti, sebelum akhirnya kembali ke setelan pabrik. Persis seperti "roller coaster"

Jelas, masih ada "post-power syndrome" di sini, meski era sukses Sir Alex Ferguson sebenarnya sudah selesai sejak tahun 2013. United memang punya catatan cemerlang di masa lalu, tapi situasi saat ini sudah jauh berbeda. Ada banyak tim yang muncul sebagai lawan kuat, dalam kompetisi yang semakin dinamis.

Jika ingin siklus "roller coaster" ini dibiarkan saja, punya seorang Cristiano Ronaldo sekalipun akan percuma. Apalagi, jebolan akademi Sporting Lisbon itu sebenarnya hanya solusi jangka pendek, karena sudah berusia 36 tahun.

Untuk sesaat, peningkatan performa memang hadir secara instan. Tapi, inkonsistensi yang belakangan hadir menjadi satu peringatan. Kalau euforia berlebihan masih ada, ini bisa menjadi pemicu awal penurunan mereka ke level berikutnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun