Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Jogja: Pariwisata dan Fenomena Aji Mumpung

3 Juni 2021   00:17 Diperbarui: 3 Juni 2021   00:22 359 7
Bicara soal Jogja, tentu lekat dengan pariwisatanya. Dari wisata alam, sejarah, sampai budaya, semuanya ada.

Daya tarik ini, membuat Jogja muncul sebagai salah satu daerah tujuan wisata populer di Indonesia. Inilah yang membuat ada satu klaim yang muncul, bahwa "Jogja adalah daerah destinasi wisata terpopuler setelah Bali."

Ini saya sebut sebagai klaim, karena memang belum ada data valid yang menceritakan kebenaran dari klaim tersebut. Apalagi, Jogja juga dikenal sebagai destinasi studi yang populer di Indonesia.

Jadi, tak relevan jika orang yang pergi piknik ke Jogja dicampuradukkan dengan orang yang pergi studi ke Jogja. Jelas, piknik adalah untuk bersenang-senang, sementara studi bersifat serius.

Hal lain yang membuat klaim ini cukup layak dipertanyakan adalah fenomena "aji mumpung", khususnya di tempat wisata. Fenomena ini belakangan kembali mencuat, setelah viralnya keluhan soal harga makanan dan tarif parkir, di kawasan area wisata pusat kota Jogja.

Dua hal ini memang jadi satu masalah lama, yang membuat orang bisa menjadi kapok berkunjung lagi. Di sini, image positif yang sudah sejak lama ada, akan langsung ambyar, hanya karena ulah segelintir oknum nakal.

Jangankan wisatawan, orang yang tinggal di daerah sekitar pun bisa enggan nongkrong berlama-lama dan belanja. Kalau bisa, cukup foto-foto dan jalan kaki di sana, tapi belanja di tempat lain yang harganya lebih wajar.

Fenomena aji mumpung ini juga, yang membuat spot wisata yang instagramable sempat viral, hanya terkenal sebentar sebelum akhirnya tenggelam. Penyebabnya, orang enggan berkunjung lagi karena berfoto saja harus membayar cukup mahal.

Kalau sudah begini, sulit untuk mengharapkan ada kunjungan berulang dari wisatawan. Ini akan jadi kelemahan fatal, karena kunjungan berulang dari wisatawan bisa mencerminkan seberapa bagus image tempat wisata tersebut.

Memang, ada regulasi yang mengatur, tapi nyatanya fenomena aji mumpung masih ada. Dalam keadaan biasa, ini mungkin akan segera jadi angin lalu, tapi tidak dalam kondisi pandemi seperti sekarang.

Benar, dalam kondisi pandemi seperti sekarang, sektor pariwisata mengalami pukulan telak. Angka kunjungan turis menurun karena perjalanan dibatasi, hotel dan restoran juga banyak yang tutup atau beroperasi secara terbatas.

Tanpa ulah oknum nakal yang viral saja, keadaan sudah lesu, apalagi jika ada. Di sini, bersikap defensif, apalagi antikritik hanya akan membuat keadaan lebih buruk.

Keadaan memang serba susah, tapi bukan berarti boleh bertindak seenaknya. Jadi, daripada sibuk menggembar-gemborkan klaim yang belum tentu benar, sebaiknya semua pihak terkait mulai menertibkan dan menindak tegas oknum nakal, dan memberlakukan kebijakan tarif yang jelas.

Supaya, tak ada lagi orang yang merasa dikuras isi dompetnya, hanya karena harga yang kelewat mahal. Memalukan jika image "harga serba murah" dari daerah lain justru menghasilkan perilaku "murahan" seperti ini.

Lebih memalukan lagi, jika mantra romantisasi "kenangan dan rindu", justru mendatangkan "kenangan yang tak dirindukan". Andai ini terus-menerus dibiarkan, jangan kaget jika turis menganggap kunjungan ke daerah tujuan wisata ini sebagai sesuatu yang "sekali berarti sudah itu mati".

Jadi, daripada sibuk menggembar-gemborkan klaim yang belum tentu valid, sudah saatnya klaim itu dibuktikan dengan serius melakukan penertiban secara menyeluruh dan kontinyu. Dengan demikian, image buruk yang ada akan hilang tanpa perlu repot-repot klarifikasi kesana-kemari.

Apalah artinya daerah tujuan wisata tanpa kunjungan wisatawan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun