Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Saat Tetangga (Masih) Jadi Omongan

2 Mei 2021   08:43 Diperbarui: 2 Mei 2021   08:46 471 2
Bicara soal hidup bertetangga, kebanyakan dari kita tentu pernah mendengar pemeo "rumput tetangga lebih hijau", karena mereka mungkin terlihat lebih kaya, atau harmonis. Jika kenyataannya memang begitu, pasti akan mendatangkan respek, khususnya jika si tetangga itu berperilaku baik.

Pertanyaannya, bagaimana jika "rumput tetangga (terlihat) lebih hijau", tapi tetangga di sekitarnya jengkel karenanya?

Kebetulan, situasi ini "hadir" di lingkungan tempat tinggal saya, di satu sudut Yogyakarta, dengan salah satu tetangga sebagai lakon.

Cerita dimulai sekitar sedekade silam, saat saya masih SMA sampai tahun awal kuliah. Saat itu, ada keluarga kecil yang mengontrak salah satu rumah di lingkungan perumahan kami, dengan anak-anak yang masih SD.

Biasanya, mereka gaduh di pagi hari, atau pada momen tertentu, seperti saat famili datang. Tentu saja, ini hal biasa, sangat wajar, karena setiap keluarga pasti mengalami.

Tapi, keanehan mulai muncul beberapa bulan kemudian, saat rumah mereka sempat gelap gulita selama beberapa hari, dan itu terjadi beberapa kali.

Saya kebetulan melihatnya, saat pulang di senja hari, khususnya saat ada jadwal kuliah sore, atau ada kelas tambahan di sekolah jelang ujian akhir Nasional. Kadang, itu sempat membuat saya mengira, jangan-jangan rumah saya pun sedang mati listrik.

Ternyata, hanya rumah itu saja yang gelap gulita, yang lain tidak. Belakangan, mereka diketahui menunggak pembayaran listrik dan air, sehingga terkena pemadaman sepihak dari PLN dan PDAM.

Awalnya, saya cuek saja, karena posisi rumahnya tak bersebelahan dengan rumah kami. Tapi, rasa cuek itu lalu berubah jadi rasa jengkel, sejak mereka, entah bagaimana caranya, pindah ke sebuah rumah yang berukuran lebih besar, tepat di samping rumah kami.

Suasana gaduh terjadi hampir setiap hari, dan hampir selalu ada cerita "unik" soal mereka. Mulai dari masalah iuran keamanan lingkungan, sampai urusan pribadi.

Untuk urusan yang disebut terakhir, ini memang jadi pergunjingan, karena sang nyonya rumah memang bergaya hidup bak sosialita, tapi perilakunya kurang baik, dan kurang akur dengan tetangga.

Cerita ini sempat saya hapus sejenak, saat saya pergi merantau ke Jakarta selama kurang lebih dua tahun. Saat imbas pandemi memaksa saya kembali, saya dibuat terkejut, karena meski suasananya tak segaduh dulu, cerita kurang baik tentang mereka masih saja ada, bahkan semakin parah.

Disebut demikian, karena belakangan saya mendengar, gaya hidup konsumtif mereka selama ini  telah menghasilkan tumpukan hutang cukup besar. Rumah mereka bahkan sampai ditawarkan kesana-kemari, demi menghindari sitaan bank.

Rasanya ironis, karena rumah mereka berukuran paling besar di lingkungan kami, dan mereka pernah gonta-ganti mobil. Dua hal ini tampak mereka banggakan, meski jadi sumber masalah berupa tumpukan hutang akibat konsumerisme, dan sedikit arogansi.

Di sini, saya sampai berseloroh kepada orang tua saya, "Sudah saya tinggal pergi dua tahun ke Jakarta, ternyata mereka masih begitu-begitu saja.". Saya sendiri sampai bertanya-tanya, ngapain aja mereka selama ini?

Saya sendiri tak tahu persis, apa yang membuat mereka begitu konsumtif, tapi ironisnya malah memposisikan diri lebih tinggi dari yang lain, sebelum akhirnya terjebak dalam situasi rumit seperti itu.

Satu hal yang pasti, selain berperan sebagai "saudara terdekat", tetangga kadang bisa jadi tempat bertukar informasi yang hebat. Entah dapat ilmu dari mana, para tetangga bisa membuat dinding rumah pun seperti bermata dan bertelinga. Sebuah rasa aman yang unik, karena semua saling menjaga.

Berhubungan dan bersikap baik dengan tetangga memang akan membuat suasana jadi menyenangkan, tapi jika hubungan dan sikap itu buruk sejak awal, apalagi perilakunya kurang baik, suasana pasti akan menjengkelkan, karena selalu ada hal yang bisa diributkan atau dipergunjingkan.

Selebihnya, tinggal mana yang akan kita pilih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun